N.19 : 11

438 69 9
                                    

"Sampai kapan kita akan terus berjalan menyusuri tempat ini? aku lelah, mungkin lebih baik jika kita mempercepat kematian kita disini."

"Apa maksudmu? kau menyerah begitu saja? apa kau tidak ingin bertemu dengan keluargamu lagi, Jim?"

"Ini semua salahku, andai saja aku tidak keras kepala saat itu. Sesuatu seperti ini pasti tidak akan terjadi, AKU PENYEBAB SEMUA INI!! BODOH!! BODOH!! BODOH!!" Jimin merusut kebawah sampai dirinya terduduk dilantai kotor, memukul kepalanya sendiri sembari terisak-isak, menyalahkan dirinya sendiri atas perbuatan dosanya kala itu. Hingga teman-temannya pun ikut merasakan akibatnya juga.

"Kau tidak boleh seperti itu, Jim. Kami tidak menyalahkanmu!" Seokjin memapah tubuh Jimin agar kembali bangkit, berusaha menyakinkan temannya itu bahwa kesalahan ini bukan sepenuhnya salah Jimin.

"Maafkan aku." Rasa menyesal dan bersalah memenuhi otak Jimin. Satu-satunya yang bisa ia lalukan hanyalah meminta maaf kepada teman-temannya.

"Sudahlah, lagipula kita tidak apa-apa," tutur Jungkook yang tengah merangkul Lisa.

Jimin mengangguk, mencoba menerima tutur kata teman-temannya walau dihati masih melekat rasa bersalah.

"Jangan putus asa ya, hanya butuh beberapa saat lagi untuk kita keluar dari sini, tenanglah." Jisoo tersenyum manis setelah memberi tutur katanya tadi. Jisoo yakin, dia dan yang lain bisa keluar dari tempat ini.

"Yap, Jisoo benar. Kira-kira berapa lama kita akan segera keluar dari sini?"

"Biar waktu yang menjawab," ujar Taehyung membawa gelak tawa dari teman-temannya.

-

Trrrttt... trrrtt..

"Suara apa itu?" Indra pendengarannya menangkap sesuatu suara yang tak asing ia dengar. Namun tidak dipungkiri, jika menemukan suatu suara ditempat seram seperti ini bukankah membuat bulu kuduk berdiri? sama seperti mereka yang tengah merinding dengan detak jantung yang berdegup kencang.

"Suaranya sangat tidak asing, namun membuatku sangat merinding."

Suaranya tidak berhenti, masih terus berdering seperti tadi, sampai rasa ketakutan tidak terhenti.

Semakin melangkah maju, suara itu semakin terdengar jelas, sepertinya bukan sesuatu yang membahayakan sampai Jimin menemukan telepon rumah tergeletak dimeja kotor dengan getaran serta dering suara yang membuat bulu kuduk berdiri.

"Hanya telepon rumah yang berdering..." Jimin yang hendak meraih telepon rumah itu terlebih dulu ditahan oleh Jennie. Jennie merasa aneh dengan telepon rumah yang berdering sedangkan tempat ini saja belum tentu diketahui oleh sembarang orang.

"Sepertinya itu bukan panggilan telepon dari kaum kita," tutur Jennie membuat teman-temannya berkerutkan dahi tak mengerti.

"Maksudmu?"

"Maksudku... bukankah ini tempat yang tidak mungkin diketahui sembarang orang? bahkan kalau kita tidak memasuki tempat ini, bangunan ini hanya asrama kosong yang dihuni oleh makhluk seram?" Penjelasan Jennie memasuki nalar.

"Kau benar, tapi tidak ada salahnya jika kita mencoba menerima panggilan masuk itu?" Jimin dengan rasa penasaran untuk menerima panggilan tersebut pun meraih telepon rumah yang masih berdering.

"Halo"

"Halo... dengan siapa disana?"

"Tolong, tolong aku dan teman-temanku. Aku terjebak digedung tua ini. Cepat datangkan bantuan."

Jantung Jimin berdetak kencang mendengar ucapan yang dikatakan oleh seseorang diseberang sana. Bukankah itu dialognya tadi?

Jimin menempelkan telinganya kembali dengan telepon rumah yang masih terhubung dengan panggilan tadi.

"Hey, haloo... tolong jawab aku!"

Tanpa berpikir lagi, Jimin membanting telepon rumah tadi dengan kencang sampai membuat teman-temannya terkejut keheranan.

"Ada apa, Jimin?!"

"Dialog yang dikatakan oleh orang yang menelpon tadi seperti dialog yang aku katakan saat meminta bantuan..."

"Huh?! bagaimana bisa?"

Suara tawa yang nyaring hingga terdengar jelas itu seakan menjawab pertanyaan Namjoon.

"Aku yang melakukannya. " Tawa lebar membuat bibirnya seakan robek hingga ketelinga. Mata hitam dan merah bercampur darah itu seakan mengintimidasi mereka semua yang sekarang tengah teramat ketakutan.

"Sebenarnya apa mau mu, Huh?! kenapa kau menahan kita seperti ini?" Jungkook dengan beraninya berteriak seperti itu kepada makhluk yang berada di depannya, walau didalam hati ia tengah merapalkan doa-doa perlindungan.

"Ini semua karena salahmu sendiri, bukankah juru kunci sudah memberi tahu larangan menulis angka 19?" Tawa lebarnya kali ini seakan mengejek mereka semua yang dengan konyolnya mempertanyakan akibat dari kesalahan yang sebelumnya sudah diperingatkan.

"Tapi bukan hanya itu saja, aku juga menginginkan dia..." Jarinya yang sangat panjang itu menunjuk salah satu dari mereka.

"Apa maksudmu menginginkan Lisa?!"

"DIA YANG MEMBUNUHKU, SIALAN!!"

NUMBER 19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang