"Terima kasih telah mengantarku." Ucap Jeongyeon.
"Aku lebih berterima kasih karena kau telah merawatku dan membiarkanku menginap." Balas Mina.
"Kalau begitu aku akan masuk dulu ya." Pamit Jeongyeon.
"Sampai jumpa." Mina melambaikan tangannya.
"Sampai jumpa." Jeongyeon membalas lambaian tangan Mina dan berjalan memasuki cafe.
Mina pun memarkirkan mobilnya tidak jauh dari sana, dan memperhatikan keduanya alih alih berangkat kerja.
"Hai, apa kabar." Sapa Jeongyeon.
"Hai." Sana tersenyum.
Pagi itu Jeongyeon memulai harinya dengan melakukan konselingnya dengan Sana, terapistnya. Jeongyeon menceritakan apa saja yang sebelumnya mustahil untuk dilakukan, dan sekarang sudah berhasil ia lakukan. Sana mendengarkan semua cerita Jeongyeon dengan begitu bahagia.
"Aku sudah dapat melihat perbedaan dari 3 bulan yang lalu kau menghubungiku untuk membantumu keluar dari phobiamu. Saat itu kau begitu enggan bahkan hanya berjabatan tangan denganku. Kau sangat gelisah saat pertama kali kita mencoba menaiki kereta bawah tanah untuk pertama kalinya, kau benar benar merasa tidak nyaman saat aku memintamu melepas sarung tanganmu seharian penuh. Tapi sekarang kau benar benar melakukannya. Kau berhasil melawan phobiamu, aku bangga padamu, Jeongyeon." Ucap Sana sambil tersenyum.
"Dengan begini aku sudah dapat menyatakan bahwa kau sepenuhnya terlepas dari phobiamu." Sana tersenyum lebar.
"Terima kasih banyak, Sana." Jeongyeon pun berdiri untuk memeluk Sana dan berterima kasih padanya.
Mina yang melihat itu dari kejauhan merasa begitu cemburu. Hatinya benar benar panas melihat Jeongyeon memeluk wanita lain. Hal itu membuatnya memutuskan untuk pergi dari sana.
"Sepertinya sudah jelas kalau dia takkan bisa menjadi milikku." Perlahan air mata Mina terjatuh ke pipinya.
Sambil mengemudi untuk kembali ke rumahnya, Mina terus menerus mengeluarkan air mata. Ia benar benar ingin berkencan dengan Jeongyeon, dan menghabiskan banyak waktu dengan wanita pujaan hatinya itu. Setelah kemarin bermalam dirumah Jeongyeon, akhirnya Mina mengakui apa yang dikatakan Alex beberapa bulan lalu, dirinya telah jatuh cinta pada Jeongyeon.
Pagi ke malam, Mina benar benar tidak melakukan apapun. Ia hanya tiduran di kasurnya sambil meratapi kesedihannya. Sejujurnya wanita itu tidak ingin terus menerus bersedih, namun mengetahui fakta bahwa Jeongyeon takkan menyukai dirinya membuatnya begitu hancur.
*Ting.
Sebuah pesan dari Jeongyeon membuatnya langsung fokus pada ponselnya.
"Hey." Sapa Jeongyeon.
"Apa?" Balas Mina.
"Sedang apa?" Tanya Jeongyeon.
"Tiduran." Jawab Mina.
"Sudah pulang kerja?" Tanya Jeongyeon.
"Sudah." Bohong Mina.
*Dddrrrt drrtttt.
Mina terkejut saat Jeongyeon tiba tiba menelpon.
"Halo?" Sapa Mina.
"Hey." Sapa Jeongyeon.
"Tidak biasanya kau sudah pulang di jam ini." Ucap Jeongyeon.
"Aku sering pulang lebih awal." Bohong Mina.
"Ahh, begitu ya." Sahut Jeongyeon.
"Kenapa menelpon?" Tanya Mina yang enggan diganggu, terlebih lagi oleh tambatan hatinya.
"Kenapa bertanya begitu? Tidak boleh?" Jeongyeon balik bertanya.
*Bib.
Jeongyeon terkejut saat Mina memutus sambungan telponnya.
*Dddrrtt drrrttt.
Mina kembali mengangkat telpon Jeongyeon.
"Kenapa dimatikan? Kau sedang marah ya?" Tanya Jeongyeon.
"Tidak." Jawab Mina singkat.
"Bohong." Canda Jeongyeon.
"Kalau tidak percaya yasudah!" Mina kembali membuat Jeongyeon bingung.
"Hey, apa apa denganmu? Mengapa tiba tiba marah?" Tanya Jeongyeon
"Sudah urusi saja urusan dan pacarmu itu, aku tidak ingin diganggu." Ucap Mina.
"Pacar? Siapa?" Bingung Jeongyeon.
"..." Mina hanya terdiam.
"Hey, pacarku itu siapa? Kamu?" Tanya Jeongyeon sambil terkekeh.
Tanpa ia ketahui wajah Mina tiba tiba memerah.
"Sesungguhnya aku menelpon karena aku menerima kabar baik. Aku ingin memberitaumu, kau mau tau tidak?" Tanya Jeongyeon.
"Bicara saja." Ucap Mina.
"Kau taukan sejak beberapa bulan kebelakang aku mulai menjalani terapi untuk phobiaku? Nah, hari ini terapistku mengatakan bahwa aku telah sembuh hahaha. Bisakah kau percaya itu?? Aku sangat senang hari ini karena mendengarnya menyatakan itu." Cerita Jeongyeon.
"Benarkah??" Mina terkejut.
"Yeah, akhirnya." Jawab Jeongyeon.
Mina seketika mengubah kembali intonasi bicaranya.
"M-memang apa pedulinya aku?" Tanya Mina.
"Heol, kau ini dingin sekali." Keluh Jeongyeon.
"Sesungguhnya aku tidak berharap apa apa, tapi aku hanya ingin bercerita padamu. Mengingat alasanku terapi adalah dirimu." Ucapan Jeongyeon membuat Mina bingung.
"Mwo??" Tanya Mina.
"Hehehe, kau ingat malam itu? Malam dimana kita berbicara bersama saat aku dirawat? Sejujurnya saat itu aku merasakan 2 hal secara bersamaan. Yang pertama adalah rasa kesal karena berbicara dengan dokter menyebalkan yang tidak punya empati sama sekali. Lalu yang kedua adalah rasa membingungkan yang timbul saat menatap mata cantikmu. Setelah pulang dari rumah sakit, aku memikirkan diriku yang selalu jatuh cinta berkali kali namun tak pernah bisa memiliki kekasih karena kondisiku ini. Beberapa hari kemudian akhirnya aku memutuskan untuk mencari terapis." Cerita Jeongyeon.
"Awalnya aku putus asa saat kau mengatakan dengan penuh kebencian, kau takkan merawatku lagi jika aku sakit. Tapi ternyata aku masih dapat bertemu denganmu, walau saat itu aku tak mengenalimu hehehe. Tapi sekedar info, aku sangat menyukai rambut hitammu." Ungkap Jeongyeon.
"K-kenapa kau membicarakan hal seperti ini di telpon sih." Wajah Mina benar benar memerah.
"Kalau begitu tolong bukakan pintu rumahmu, aku sudah di depan sini sejak tadi hehehe." Mina pun terkejut dan langsung berjalan menuju ke depan rumahnya.
*Klek.
"Hai." Sapa Jeongyeon sambil membawa buket bunga untuk Mina.
"Aku harap kau suka bunga." Jeongyeon terkekeh sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Jeongyeon?!" Kaget Mina.
"Mina?!" Jeongyeon mengikuti ekspresi kaget Mina sehingga wanita didepannya itu tertawa.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Mina.
"Bertemu denganmu." Jawab Jeongyeon.
"Bertemu denganku??" Tanya Mina.
"Yeah, jadi bagaimana?" Tanya Jeongyeon.
"Bagaimana apanya?" Tanya Mina.
"Aku menyukaimu, kau menyukaiku juga tidak?" Tanya Jeongyeon malu malu.
STREAMING THE FEELS!!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch My Heart
FanfictionFull Chapter Seorang pengidap germaphobe dan OCD yang harus dipertemukan dengan seorang dokter yang baginya begitu menyebalkan dan kurang memiliki rasa empati.