Bulan pergi, terselubung duka dan elegi hampir disetiap gelap pekat.
Dan ketika pagi, mentari seolah tak semangat untuk menyapa. Sekarat dan tak hangat.
Perawan kelana itu terdiam. Diam-diam merindukan tarian bulan dan mentari. Diam-diam dan dipeluk kelam.
Rupanya malam dan pagi tak lagi sama.
Ada bimbang dan butuh bimbing, ada gamang dan butuh pegang.
Perawan itu kehilangan navigasi dan makna dari sebuah pengharapan.
Bahwa mentari dan bulan itu, begitu teramat dekat dengan nadi nya.
Bahwa masih ada udara, air dan api yang harus selalu dijaganya.
Bahwa, sejatinya ialah tanah tempat yang lain berpijak. Bersandar.
Bahwa sekarang ia harus menggeliat, tak lagi berwujud tanah liat.
Bahwa ia tiba-tiba menjelma gunung dan daratan. Menjadi kerak setiap lautan. Menjadi landasan.
Ada atau tidak mentari dan bulan.
Ia harus tetap disana.
Meski panas lava menggetarkannya,
Meski lautan mungkin menenggelamkannya,
Meski udara mungkin merapuhkannya.
Karena hanya satu kali lagi saja.
Dan ia, menjelma perawan kelana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Perawan Kelana
PoésieKumpulan sajak dan puisi *** "Dan aku merayu Tuhan, tapi tak lagi meminta hatimu Tuan. Tapi hatiku, utuh. Setelah kau buat berderai" Keluh kesah, resah gelisah, dan perasaan membuncah. Aku sisipkan secuil perasaan lewat tulisan ini. Semoga kau menem...