1

4.4K 377 68
                                    

DALAM perjalanan pulang dari sekolah, di bawah matahari Mekarjati, Arun akhirnya mendapat jawaban untuk kejahatan paling kejam yang tak bisa dibawa ke kantor polisi: mencuri kenangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DALAM perjalanan pulang dari sekolah, di bawah matahari Mekarjati, Arun akhirnya mendapat jawaban untuk kejahatan paling kejam yang tak bisa dibawa ke kantor polisi: mencuri kenangan.

Teman-teman satu kelompoknya memulai pembahasan itu setelah menyelesaikan tugas mereka. Selagi guru menunggu semua lembar kerja terkumpul, para siswa bergerombol di meja-meja yang disatukan, tiap grup duduk melingkar. Ditemani ketukan pulpen dan zip cepat dari ritsleting tas, satu per satu mengemukakan opininya.

'Selingkuh.' Suara Rani menekan di tiap suku kata.

Jia mengernyitkan dahi. 'Kalau udah nikah, selingkuh bisa dipenjara, loh.'

'Belum selesai.' Rani membela diri. 'Selingkuh hati. Mau udah nikah kek, mau baru pacaran kek, yang namanya selingkuh hati itu salah banget. Walaupun nggak pegang-pegang, tapi semua perhatiannya tetap ke selingkuhannya, bukan untuk pasangan resmi. Batinnya nggak dinafkahin.'

Arun terkesiap hingga memundurkan badannya. Meski kakaknya sudah menikah, dia tetap tak terbiasa dengan istilah-istilah dewasa seperti nafkah batin.

'Aku tahu yang lebih parah,' sergah Uchi. Lehernya menjulur. 'Ce-pu.'

Rani dan Uchi kompak ber-ugh panjang, kemudian tertawa kecil. Membocorkan rahasia sepertinya punya arti lain bagi mereka.

'Nyolong mangga.' Haris, cowok selain Arun yang sedang lewat, berpendapat.

'Eh! Nenek-nenek ambil singkong aja dipidana!' Rani sampai memutar kursinya.

Haris duduk sebelum menanggapi. 'Ya, makanya. Harusnya lihat-lihat dulu siapa yang nyolong. Dan nyolong di mana. Kalau nenek-nenek kelaparan, mestinya jangan cuma dibiarin ambil singkongnya, tapi juga dikasih makanan lain. Kalau anak bocil dari kompleks cluster, mampir ke kampung dan nyolongnya dari pohon mangga babeh gue? Itu yang nggak boleh. Tapi nggak bisa dituntut juga, kan? Siapa yang tega nuntut bocil? Nanti gue malah dihujat netizen.'

'Detail juga ya, Ris.' Arun menyeringai.

Jia menoleh padanya. 'Kalau kata Arun, apa?'

Setelah itu, bel terakhir berdentang. Dia belum sempat memikirkan apalagi mengutarakannya. Baru ketika kakinya tinggal dua langkah lagi menuju pagar rumah, kata mencuri kenangan itu tebersit. Karena bentuk materi apa lagi yang lebih berharga daripada uang dan pangkat selain kenangan? Kenangan membentuk seseorang. Kenangan memberi hidup seseorang arti yang sangat personal. Jika kenangan itu dirampas, ke mana lagi seseorang harus mencari serpihan dirinya?

Beruntunglah Arun tidak mendapat giliran bersuara. Pasti penjelasannya akan terlalu panjang dan sulit dan melankolis bagi yang lain.

Usai melepas sepatu dan mengucap salam, Arun memasuki ruang tamu. Dia selalu merasa rumah dua tingkat ini tinggi ke atas ketimbang panjang ke belakang sehingga lebih mirip gedung alih-alih hunian, bahkan setelah dia beranjak besar dan kedua orang tuanya tinggal ke Riau. Bunda dan Ayah seakan sudah berencana bahwa kelak Mbak Drina menikah tepat sebelum mereka pindah, meski Bunda mengaku 'tak sengaja' dan 'spontan' membeli rumah di pulau seberang. Di saat mereka berdua menikmati masa pensiun, Arun masih bersekolah, menempati lantai atas yang dekorasinya tetap seperti dahulu. Sedangkan Mbak Drina dan suaminya merombak lantai bawah dengan earthy chic—bahasa Mbak Drina sendiri—mengganti perabot Jawa klasik berukir milik Bunda dan Ayah menjadi minimalis berskema warna terakota, karamel, dan khaki.

MemoriografiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang