17

577 163 19
                                    

RASANYA ingin menangis saja melihat buket bunga Ibu Lis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

RASANYA ingin menangis saja melihat buket bunga Ibu Lis.

Mbak Drina meletakkannya di vas seperti biasanya. Dibanding lima hari lalu, bunga-bunga yang awalnya secantik paras dewi itu menjadi ya ... seperti paras dewi pula, tetapi yang habis diputuskan pacarnya dan kebetulan sedang memakai maskara-celak yang tidak tahan air.

Arun berlalu dari dapur sembari mengecek ponselnya. Lagi. Sudah lebih dari tiga jam dan belum ada jawaban dari Ibu Lis. Seperti déjà vu, dilihatnya ruang chat Orlin. Juga Nihil. Zero. Nada. Zilch

"WE, yok!"

Mas Kal menepuk punggung Arun hingga ponselnya hampir terlepas dari genggaman. Dibanding sakitnya, sebetulnya dia lebih kaget. Tak biasanya Mas Kal pulang cepat untuk duduk di ruang keluarga, bukan merecoki Mbak Drina atau membuka kembali laptopnya di kamar.

"Kenapa, Mas?" mata Arun mengerjap-ngerjap.

Sebagai jawaban, PS2 beserta sepasang stiknya dikeluarkan dari laci meja ruang tamu. Benda itu salah satu milik pribadi Mas Kal yang dibawanya saat pindah ke sini, selain tamagochi, digivice, album Tazos, dan kartu Yu-Gi-Oh. "Mumpung lagi lowong, nih. Gas, lah."

Arun membantu memasang kabel-kabelnya pada TV. Diliriknya Mas Kal—beliau bahkan belum mengganti kemeja kerjanya. Sejak datang tadi, rasanya Mbak Drina juga hanya menjawab salam. Ada angin apa ini? Apa Arun sudah melewatkan sesuatu?

Mereka tidak bertengkar, kan?

Selesai menghubungkan semuanya, Mas Kal menyalakan PS, menyetel gim Winning Eleven, lalu memilih opsi dua pemain. Sebenarnya mabar seperti ini bukan hal aneh. Sesekali mereka push rank saat sedang sama-sama senggang atau berduel kartu-kartu dewa bila Mas Kal sedang dalam mood tanpa-layar. Namun tidak semendadak ini ... atau semua pikiran ganjil ini bagian dari perasaan Arun yang memang sedang harap-harap cemas? Entahlah.

Bagaimanapun juga, mereka bermain.

Arun memilih The Citizens, Mas Kal setia dengan Los Galacticos. Seperlima dari katalog pemain bolanya bisa dibilang sudah menjadi pelatih tahun ini. De Bruyne saja belum masuk. Mas Kal sendiri menyusun line-up yang cukup mudah ditebak—CR7, Ramos, Kaka. Saat Real Madrid benar-benar bertabur bintang. Arun mengerti nostalgia yang dibawa konsol ini, yang baru beberapa menit saja sudah membuat wajah Mas Kal lebih relaks. Masa-masa yang diingatkan oleh keberadaan PS2 dan WE adalah zaman yang lebih sederhana, ketika sehari-hari hanya berkutat pada PR dan main sepanjang sore, bukan menghadapi bos atau ... memusingkan rencana selepas lulus. Padahal Arun belum lahir saat Mas Kal membeli gim ini.

"PSP kamu jadinya rusak permanen?" tanya Mas Kal saat mereka sudah memulai pertandingan.

Arun menggiring bola lewat Touré. "Ya, Mas. Habis jatuh dari jendela, udah nggak bisa dibetulin lagi."

Mas Kal ber-hm. "Lumayan juga, ya, kalau masih bisa dimainin."

"Nggak mau beli PS5 aja, Mas?"

"Mau, sih, mau." Mas Kal tertawa. "Tapi misal udah punya uangnya juga, bakalan lama dapatnya. Waiting list-nya sepanjang Anyer-Panarukan gitu."

MemoriografiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang