BEBERAPA saat sebelum Orlin membawa motornya menuju lapangan, Arun men-juggling, dan anak-anak itu bersorak heboh, Arun dan Orlin merumuskan strategi di bangku taman Bukit Persada. Selain itu, Orlin juga menawarkan biskuit baru yang dia beli sebagai amunisi camilan hari ini. Disobeknya bungkus biskuit berwarna turquiose-hot pink itu, kemudian disodorkannya satu keping untuk Arun.
'Iklannya baru muncul di TV kemarin,' terang Orlin, 'tapi produknya udah ada dari tiga hari lalu.'
Arun mengambil dan melahapnya. Warna krimnya merah muda, tapi rasanya bukan stroberi. Lebih ke permen karet dengan sedikit mint. Aneh, tapi bisa dinikmati. 'Lumayan.'
'Ya, kan? Saya nggak nyangka bakal ada rasa mint-mint-nya.' Orlin bertestimoni. 'Jadi, kita mau ngapain habis ketemu anak itu?'
Bunyi kres-kres dari kunyahan mereka menjeda responsnya. Arun menelan biskuit kedua dahulu sebelum menjawab. 'Pertama, kita tanya tentang rumah kuning. Semoga infonya valid. Kedua, kalau penghuninya ada di situ, kita langsung izin dan bilang soal Ibu Lis. Tapi, kalau rumahnya kosong atau salah orang lagi, kita balik lihat rumah di bukit yang waktu itu nggak sempat kamu datangi.'
'Kayaknya nggak mungkin kalau salah orang. Jelas-jelas Ibu Lis kirim pesannya begitu. Lagian, besoknya Haris bilang dia ke sana buat keperluan RW, dan waktu neneknya ditanya beli buket atau nggak, jawabannya nggak. Jadi, kita coret opsi rumah bukit dan fokus ke Bukit Persada lagi.'
'Oke ...' Arun meluruskan kakinya. 'Terus, kamu mau langsung tanya ke anak-anak itu? Mereka nggak bakal takut atau ngadu ke orang tuanya, kan?'
Orlin mengangkat dan menggoyangkan sebungkus biskuit lagi. 'Ada ini.'
Namun ternyata, belum juga makanan ringan itu ditawarkan, anak-anak itu kini memperebutkan tim siapa yang berhak mendapatkan Arun. Satu anak perempuan yang tak ikut main bola memintanya mengulang kembali atraksi tadi. Arun terkesima memandangi keributan itu; setengah bingung, setengah lagi kalut harus bereaksi apa. Jika dia salah bicara, apa tim satunya akan marah pada temannya, atau justru pada Arun? Jika dia tak mau, lantas bagaimana lagi caranya mencari tahu soal rumah kuning? Semua serba salah. Arun jadi bersimpati dengan guru SD setelah berada di situasi ini.
"Hei! Guys!" Orlin menepuk tangannya berkali-kali. "Tahu, nggak? Abang ini nggak bakal mau main kalau kalian ribut terus."
Satu anak berkaus hijau memandangi Orlin. "Itu kakak yang ajarin kita kalimba, bukan?"
Koor eh, iya! dan betul, betul berkumandang.
"Ngapain Kakak ke sini lagi?" bocah laki-laki berambut ikal maju. "Mau kepo apa lagi, sih?"
"Kakak boleh tanya apa aja, asal abang itu main sama tim kita." Anak perempuan bertopi snapback menunjuk Arun. "Kalau nggak, kita nggak mau ngomong."
"Kita? Ente aja, kali! Yang betul kami!" Yang berbaju Spongebob menjulurkan lidah. Kemudian, tangannya melambai-lambai. "Sama kami aja, Bang! Tim situ, mah, payah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoriografi
Teen Fiction「"Mawar peach artinya ketulusan, ranunculus berarti menarik, dan lisianthus putih bermakna seumur hidup. Jadi, kira-kira siapa Ibu Lis ini?"」 Seorang pemuda, seorang gadis, dan sebuket bunga. Apa yang bisa salah? Untuk membantu kakaknya, Arun menawa...