"GIMANA, Run?"
Arun belum menuntaskan salamnya ketika Mbak Drina menyambar dengan kalimat tanya itu. Pintu depan saja belum ditutup rapat. Namun, begitu Mbak Drina berlari kecil ke arahnya lalu menarik napas saat melihat kantong buket, Arun segera menyiapkan jawabannya.
"Mbak, tolong dengerin dulu—"
"Buketnya belum sampai? Tapi alamatnya betul, kok! Tadi kamu ke mana aja? Emangnya itu bukan rumah Bu Lis? Terus kenapa WA Mbak nggak dibalas-balas?"
Penjelasan yang sudah Arun susun mendadak buyar. "Arun lagi di jalan, Mbak."
"Ya ampun, berarti Bu Lis salah kasih alamat? Terus kata Orlin gimana? Bu Lis itu siapanya?"
Arun berkedip. "Err, orang yang bayar dia."
"Bayar? Jadi Orlin suruhan? Kirain keponakan atau anaknya! Dia juga nggak tahu apa-apa?"
"Besok rencananya kami mau coba ke alamat lain. Tapi nggak tahu juga, mungkin Mbak bisa hubungi Ibu Lis lagi buat konfirmasi. Kata Orlin, habis dia deal sama Ibu Lis, beliau nggak balas lagi."
Arun sengaja menyembunyikan bahwa Orlin tak keberatan chat-nya tak dibalas. Selain karena menghubungi Ibu Lis hanya akan 'merusak kesenangan', dia juga sudah dapat setengah dari upahnya. Dipikir lagi, bisa saja upah itu uang tutup mulut agar Orlin tak membantu siapa pun yang akan menuntut Ibu Lis. Bisa saja.
"Yang benar?!" kini Mbak Drina sama paniknya dengan Arun setengah jam lalu. "Duh, gimana ini? Chat Mbak juga belum dibalas." Langkahnya bolak-balik sebelum menghampiri kantong buket yang dipegang Arun. "Sini, sini, bunganya. Mbak simpan dulu biar nggak layu."
Arun menyerahkan buket, lalu mengekori Mbak Drina yang terburu-buru ke dapur. Memasuki suhu yang lebih sejuk, pikiran Arun seakan ikut terbuka. Mbak Drina tak perlu bertanggung jawab sebegitunya. Kalau memang pesanan kliennya tak sampai, rugi itu sudah pasti, tapi toh Ibu Lis semestinya tak bisa memberi ulasan buruk karena ya, beliau yang ghosting, bukan? Untuk apa dia bicara jelek tentang orang lain ketika itu salahnya sendiri? Kecuali Ibu Lis memang menjalankan permainan; permainan dari neraka.
"Ya udah, sih, Mbak," tutur Arun, mencoba meringankan. "Masukkin aja ke txtdarionlshop. Blokir akunnya. Sebar namanya biar jadi peringatan buat seller lain."
"Sush," bisik Mbak Drina tanpa menoleh. Tangannya cekatan membuka ikatan buket itu lalu menjajarkan tiap bunga dan dedaunannya di atas meja makan. Dia pergi sejenak untuk mengambil sebuah vas kaca bening, mengisinya dengan air, kemudian menambahkan beberapa tetes pemutih pakaian dan sesuatu yang diambil cepat dari ruang kerjanya—sepertinya suplemen khusus bunga ditilik dari tulisan flower food di bungkusnya. Diangkatnya satu-satu bunga itu untuk dipotong sedikit tangkai bawahnya sebelum diletakkan dalam vas. Setelah semuanya selesai, Mbak Drina menaruhnya di konter. "Jadi besok kamu—"
Getar ponsel Mbak Drina di atas meja makan mengalihkan perhatian mereka. Mbak Drina meraihnya, lalu fokus membaca. Perlahan, tatapannya berubah. Bukan hanya dari kedua alisnya yang menurun, tapi juga betapa pelannya Mbak Drina memalingkan wajah pada Arun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoriografi
Teen Fiction「"Mawar peach artinya ketulusan, ranunculus berarti menarik, dan lisianthus putih bermakna seumur hidup. Jadi, kira-kira siapa Ibu Lis ini?"」 Seorang pemuda, seorang gadis, dan sebuket bunga. Apa yang bisa salah? Untuk membantu kakaknya, Arun menawa...