10: Bunda Nisa

65 21 1
                                    

Kedai seblak pinggir jalan itu baru buka lima hari lalu. Spanduk besar di depan terlihat menarik karena warna, serta nama kedai tersebut. Seblak Pedas Mantap Jiwa. Yuni, satu dari sekian banyak orang yang tergoda oleh papan nama tersebut. Sebagai pecinta makanan asli Bandung satu itu, rasanya wajib untuk mencicip. Daripada tergoda, mungkin Yuni ingin membuktikan papan nama tersebut. Apakah benar-benar pedas mantap jiwa?

Hening pikir, setelah bel pulang berdenting, ia bisa terbebas dari Gema. Pergi makan seblak bersama Yuni dapat dijadikan ajang menetralkan degup jantung. Namun semua hanya angan. Dengan entengnya Yuni mengajak cowok itu untuk ikut serta. Hening tidak mungkin tiba-tiba melarang, bukan? Tapi ia berdoa keras-keras dalam hati, berharap Gema menolak. Dan takdir belum berpihak padanya dengan Gema yang mengangguk antusias setelah membaca ajakan tulis tangan Yuni.

"Lo mau apa, Ning?" tanya Yuni seraya membaca daftar varian seblak.

Tidak langsung menjawab, ia memilih untuk menghela napas. Hening ikut membaca menu bersama Yuni. Ia bukan penggemar makanan berinti krupuk yang direbus itu. Hening total tidak tahu ingin memesan apa.

"Samain aja," putusnya.

"Ya udah, lo seblak ceker, ya? Gue seblak Pedas Mantap Jiwa," kata Yuni dengan mata masih pada selembar kertas menu.

Seblak ceker? Seblak Pedas Mantap Jiwa? Walau tidak tahu letak perbedaannya, Hening tetap mengangguk.

Sedari tadi ia enggan menoleh ke arah kanan. Alasannya hanya satu, ada Gema di sana. Cowok itu duduk anteng tanpa ada tanda-tanda ingin menerkam. Hening yang duduk di sampingnya seakan cemas tanpa alasan. Di atas kursi panjang itu, ia duduk di antara Yuni dan Gema. Berkali-kali Yuni rasakan Hening duduk menempel padanya.

"Ning, tanyain Gema mau apa," suruh Yuni.

Panik gak? Panik gak? Seketika terputar suara video yang akhir-akhir ini sedang ngetren. Hening mengatur mimik wajah sedemikian rupa. Seperti gerakan senam wajah, yang mana kalau disaksikan Yuni, mungkin dia akan tertawa ngakak.

"Yuni tanya, kamu mau makan apa?"

"Seblak."

Pfftt. Liur Hening hampir terlompat keluar mulut.

"Iya--" Hening memberi jeda dari suara bergetarnya, menahan tawa, "--maksudnya, seblak rasa apa?"

Rasa stroberi, mangga, pisang. Hening rasa, ia telah salah memilih kata. Tapi sepertinya Gema paham. Semoga gerak isyaratnya tidak membingungkan.

"Terserah. Aku gak tau mau pesan apa."

"Samain aja katanya, Ni."

Yuni menyipitkan mata. Mengamati dua anak manusia di depannya bergantian.

"Lo berdua janjian, ya? Kompak amat," katanya, disertai tawa pada akhir kalimat.

Maklum, Hening dan Gema bukan spesialis seblak. Yuni sebagai seorang profesional, rasanya harus untuk membimbing mereka. Bersama-sama menemukan seblak yang menempati puncak tertinggi dalam tiap kasta makanan krupuk basah.

Ketiga pesanan Yuni sampaikan pada perempuan dengan rambut cepol. Semua tercatat di atas kertas. Perempuan itu undur diri ke dapur belakang.

"Eh, iya, Ning." Yuni mencolek bahu Hening. "Lo bilang kemarin praktek senbud mau main gitar. Kok tadi malah bawa pianika?"

Hari ini Hening sangat tidak ingin mendengar kata gitar. Sungguh. Seperti es beku di kepala bisa mencair melewati mata. Mengaliri pipi, kemudian menetes jatuh dari dagu. Dengan satu kata gitar, mata perih segera berkaca-kaca. Namun Hening pembohong ahli. Setiap gerik penuh kepalsuan kadang membuatnya berpikir dapat menjadi aktris FTV dadakan.

S [ayo ikut PO S!!!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang