11: Si Pentolan Kelas

73 20 4
                                    

Pulang dari rumah Gema dengan perasaan ringan. Total lupa dengan pelanggaran batas waktu pergi bermain yang ditetapkan pada peraturan rumah tak tertulis. Hening melepas sepatu, kemudian menentengnya dengan sebelah tangan. Ia menoleh ke kanan, lalu ke kiri. Mustahil rasanya kalau mamanya yang sibuk itu sudah berada di rumah sebelum pukul tujuh malam. Tapi, kesialan itu pasti ada. Tidak salah untuk waspada.

Ia menyalakan lampu ruang tengah sebelum lanjut melangkah. Hening betul merasa satu-satunya yang menghuni rumah pada saat ini. Karenanya, saat mendapati Papa keluar dari kamar tamu, Hening berjengit kaget, hampir melompat. Kalau Hening berkata bahwa Papa memiliki rupa yang buruk dan tidak sedap untuk dipandang, itu artinya kebohongan besar. Pria itu turut menyumbang genetika untuk penampakan ayu dari wajah Hening yang sering mendapat puja puji. Tahun demi tahun, tanda menuanya diri hanya terletak pada keriput di sudut mata ketika tersenyum. Sudah lama sekali Hening tidak menelisik tiap lekuk wajah sang ayah. Jangankan meneliti tiap bentuknya, melihat saja enggan.

Ini bukanlah suasana yang Hening gemari. Tanpa kata, ia langsung memutus kontak mata. Berjalan cepat tak acuh menuju kamar. Terdengar bunyi tanda pintu bercat putih tersebut dikunci dari dalam. Tidak ada kata hangat di antara hubungan renggang anak dan ayah ini. Semesti Papa sadar, dia yang menyebabkan semua terletak pada suasana canggung di atas es tipis yang siap pecah.

Hening menghembuskan napas. Ia bersandar pada pintu kamar. Perlahan tubuh melorot ke bawah. Duduk dengan bahu menempel pada pintu kayu. Hening mendadak lemah. Semua kuatnya dikuras habis. Mandi mungkin pilihan tepat.

Kamar tamu di sampingnya, punya sejarah buruk yang tidak pernah ingin Hening ingat. Pada mulanya, itu adalah kamar bagi adik Hening di masa depan. Ia yang masih bocah cilik kala itu, meminta untuk diberikan adik. Perempuan ataupun laki-laki tak masalah, katanya. Ruang di samping kamar dijadikan sebuah kamar huni sesuai permintaan Hening. Barang-barang tak terpakai sudah diungsikan ke tempat yang seharusnya. Barang-barang ditata rapi di sana. Kasur serta lemari pakaian siap pakai. Hening turut membantu menata ini-itu. Kala itu, ia sama sekali tidak tahu kalau sedang mempersiapkan tempat bagi orangtuanya yang hendak pisah ranjang.

Tidak ada tangis bayi baru. Tidak ada tumpukan hadiah perlengkapan bayi dari teman-teman Papa. Yang ada hanya Hening, Papa dan Mama dengan keadaan yang tidak pernah baik-baik saja. Orang tuanya pisah ranjang, entah sejak kapan. Hening telat menyadari. Papa menempati kamar tepat di samping Hening.

Pisah ranjang? Kenapa tidak pisah rumah sekalian, adalah yang selalu memenuhi kepalanya.

Hening selalu ingin menyinggung tentang perceraian kedua orangtuanya yang selalu tertunda dengan Hening sebagai alasan. Dia masih butuh bimbingan, katanya. Butuh orangtua lengkap untuk mengisi masa remaja. Hening ingin tertawa saat tak sengaja mendengar percakapan itu. Mungkin Hening lebih memilih ditanya, "Mau ikut Papa atau Mama?" dibanding mendengar pertikaian tanpa ujung yang selalu menempatkan buah hati mereka sendirian.

Ketika Hening kembali ke luar kamar untuk mandi, Papa sudah tak ada. Jam hampir menyentuh pukul tujuh dan masih belum ada tanda kedatangan Mama. Mungkin dalam hitungan menit, wanita itu akan tiba. Mereka selalu pergi dan datang ketika satu sama lain datang dan pergi.

_#_

Hening tidak pernah senang dengan pelajaran olahraga. Ia benci bergerak. Ketika teman-teman sekelas mendesah kecewa, Hening merayakan sesuatu dalam kepala. Guru olahraga mereka sedang sakit, dua jam pelajaran diberikan untuk mata pelajaran seni. Maka di sini lah ia. Ruang musik kesenangan mayoritas siswa sekolah. Duduk di meja terdepan bagian pojok kiri. Alasan Hening menempati tempat itu hanya satu: demi dapat melihat grand piano dengan lebih jelas. Harap-harap nanti ada yang akan memainkannya.

S [ayo ikut PO S!!!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang