15: Tidak Ada yang Mengerti

60 18 0
                                    

Hembus napasnya berat. Tidak, ia tidak memiliki masalah pernapasan. Paru-paru terlahir normal. Bukan asma, ataupun gangguan pernapasan lainnya. Gemuruh napas yang didengar, semua berkat emosi yang menggantung di rongga dada. Membuat sesak dan meletup-letup minta dikeluarkan.

Dia langsung membuat selembar kertas menjadi sobekan-sobekan tak berarti. Semua berakhir di tempat sampah. Hening beranjak pergi meninggalkan kelas. Toilet adalah tujuan utama. Membasuh muka, kemudian merenung di depan cermin. Jangan berani mengajaknya bicara sekarang. Karena satu colekan lengan saja dapat melepas amarah yang tengah ditahan mati-matian.

Hening itu pemarah. Terserah senang atau tidak. Hening itu kaku, bersumbu pendek, dan keras. Wajah diamnya sering dicap tidak ramah, dan Hening sudah biasa. Cewek ini tertutup. Ia sangat membatasi orang lain tentang dirinya. Karena itu Hening sangat menghormati privasi orang lain, berharap mereka akan melakukan hal yang sama padanya. Dan apa yang baru saja Yuni lakukan, sangat melukai lingkup pribadinya.

Langkah ributnya terpaksa berhenti. Seseorang menarik tangannya. Tinggal beberapa langkah menuju toilet. Tempat di mana Hening berharap segala kesalnya pada Yuni akan larut bersama air yang mengalir. Namun si penyebab memuncaknya amarah, malah menahan tangannya. Tubuh Hening diputar paksa.

"Ning! Tunggu," cegat Yuni kembali saat Hening hendak melangkah lagi.

Gadis itu membuang napas kesal. "Kenapa lagi?"

Koridor sepi jadi pendukung satu lawan satu kali ini. Yuni dengan dahi mengernyit samar, sedikit tampak rasa bersalah dengan mata menyala penuh pendirian. Hening tahu cewek itu belum menyerah. Dan sebelum dia kembali bersuara, Hening harap, Yuni membiarkannya untuk meredakan emosi lebih dulu.

"Gue tau lo berbakat, Ning! Lo cantik, lo pinter, lo punya bakat non-akademis. Kenapa disia-siain, sih?" celoteh Yuni. "Gue ...," cewek itu menggantung kalimatnya, "gue suka iri sama lo, tau gak?"

Tidak ada korelasi antara perkataan panjang-lebar Yuni dengan kompetisi bernyanyi itu. Kalimat Yuni barusan sama sekali tidak bisa dijadikan alasan dari sikap kelewatannya. Hening dan alasan kuatnya untuk tidak mengikuti kompetisi, Yuni tidak akan pernah mengerti itu. Tidak akan pernah ada yang mengerti. Hening hanya ingin Yuni menghargai keputusannya.

"Gue tau lo sebahagia apa waktu nyanyi. Lo senyum, muka lo sumringah. Terus, lo berhenti nyanyi gara-gara hal kecil? Aneh, Ning!"

Yuni masih melanjut katanya. Dia masih punya banyak kalimat tidak bermutu untuk dikatakan. Dan Hening, ia diam di sini, bukan berarti ia mendengarkan. Telinganya sungguh sensitif. Mendengar suara berisik membuatnya muak. Mendengar nada tinggi seseorang yang marah membuatnya pening.

Berhenti bernyanyi karena hal kecil? Hening tidak ingat apakah ia pernah bercerita akan hal itu dengan Yuni. Namun Hening yakin, ia sudah pernah bercerita bagaimana watak ibunya. Wanita yang seringkali membuat tangis tertahan di bendungan mata. Alasannya berhenti bernyanyi adalah ibunya. Alasannya tidak mengikuti kompetisi itu adalah ibunya. Apakah dengan begitu Hening menjadi orang yang menyedihkan? Karena bagaimanapun Mama menghancurkan mimpi-mimpinya, Hening tetaplah anak Mama. Seorang anak yang tidak ingin membuat ibundanya bersedih.

Mama bilang, dia melihat Papa dalam diri Hening ketika cewek itu bernyanyi. Mama tidak suka itu. Mama bersedih karena hal itu. Maka Hening tidak akan melakukanya lagi. Hening tidak ingin melukai hati Mama lagi.

Di dunia ini, di dunia yang kejam ini, entah sejak usia berapa, Hening belajar untuk tidak berharap. Menghapus segala harap pada manusia. Berhenti berharap agar mereka mengerti dirinya. Berhenti berharap agar mereka memahami dirinya. Karena di dunia ini, yang betul-betul memahami masalahmu adalah dirimu sendiri.

Hening menghempas tangan Yuni yang bertengger di lengannya. Yuni akan mengerti, Hening tidak akan bicara.

Namun lagi-lagi, Yuni menahannya.

"Ning, gue paham masalah lo. Tapi, gue tau lo bisa buat ngelewatin itu semua. Kalo lo emang punya kemauan buat nyanyi, gue yakin masalah apapun gak bakal bikin lo nyerah."

Alisnya mengernyit dengan mata teguh. Dia khawatir tidak didengar, tapi ingin tetap terlihat kukuh pendirian.

Hening di ambang batas kesabaran.

"Lo paham apa?" sahutnya dingin. Hening sekali lagi menghempas tangan Yuni. Gerakan yang tak terbantahkan. Dia tidak akan kabur ke kamar mandi.

"Gue--"

"Lo paham apa, gue tanya?? Lo tau kenapa gue berhenti nyanyi? Lo tau kenapa gue gak mau ikut kompetisi itu? Lo tau apa tentang gue?" Sekarang, biar Hening yang bicara. "Lo cuma bisa ngoceh ini-itu, lo tuh gak paham apa-apa tentang hidup gue!" Hening menjeda, "jangan sok kenal." Setelah melirik lewat ekor mata, ia langsung melewati pintu toilet. Yuni terdiam, tidak lagi mencegahnya.

_#_

Gema memperhatikannya sejak Hening melangkah melewati pintu kelas. Seketika ia merinding. Buru-buru diputus kontak mata dan kembali fokus pada halaman buku kosong. Gema dapat merasakan Hening melewatinya. Sampai akhirnya kembali menempati tempatnya semula. Rasanya seperti Ratu Elsa dari film Frozen baru saja lewat di sisinya. Membekukan tiap jalan yang ditapaki.

Dia menoleh ragu. Lewat ekor mata, tertangkap segala gerak Hening yang masih bertahan dengan wajah datar yang tampak menggerutu. Gema berpikir cepat. Gerakan apa yang akan dilakukan setelahnya. Menghadap Hening dan mengajak cewek itu berbicara, atau membiarkannya larut dalam kesendirian untuk sesaat.

Setelah meneguhkan hati, Gema memutuskan untuk menjalankan opsi pertama. Dialog yang akan dijalankan pun sudah terputar bayangannya dalam kepala. Tapi sayang, ia kalah cepat. Andre sudah menghampiri Hening lebih dulu. Andre duduk di ujung meja. Dari samping, dia tampak tersenyum jenaka. Gema berkedip dua kali. Matanya bergulir menyorot wajah Hening. Wajah sinis seperti biasa. Berkali-kali menyahut perkataan Andre tanpa minat. Tapi, cowok satu ini gigih. Sekali Hening berusaha menghampiri penghujung topik, Andre akan kembali hadir dengan tema obrolan baru.

Gema membenarkan posisi duduknya. Seketika merasa canggung untuk mendekati Hening dan Andre. Gema menoleh. Tiga meja setelahnya, terdapat Yuni di sana. Ia duduk dengan bahu mengendur. Lesu dan tampak sesekali menghela napas. Dia kembali ke kelas beberapa saat sebelum Hening. Keduanya tampak sama-sama murung. Sesuatu pasti terjadi, pikirnya.

Sibuk menerka-nerka, sambil memprediksi kapan Andre akan minggat dari meja Hening. Aroma parfumnya masih tinggal, yang mana artinya cowok itu masih di sana. Gema ingin menyuruhnya pergi, tapi tak punya alasan kuat untuk itu. Pikirannya bolak-balik antara Hening dan Yuni. Dua sahabat karib itu sedang tidak baik-baik saja. Lalu, di pertengahan dicegat oleh Andre. Pikiran Gema ruwet seketika. Saat itu lah Gema menyadari, memikirkan masalah orang lain tidaklah baik.

_#_

Hening dan Yuni benar-benar sedang tidak akur. Gema yang berdiri di antara keduanya jadi pening seketika. Yuni yang biasa ekspresif, mendadak diam dan pasif. Sementara Hening kukuh dengan tatapan kosongnya. Gema sendiri tidak paham kenapa ia harus ditempatkan dalam posisi ini. Berdiri menjadi yang paling tinggi di antara dua gadis SMA yang saling berseteru. Ia sudah seperti tembok besar yang memisahkan dua suku yang berselisih.

Dia menarik napas perlahan. Gema baru akan pulang kalau salah satu dari Yuni dan Hening sudah pulang. Firasatnya mengatakan, kalau Gema pergi sekarang, dua remaja putri ini akan saling menjambak dan berteriak pada satu sama lain.

Motor berwarna biru tampak dari kejauhan. Yuni mencolek bahunya, kemudian pamit lewat gerak isyarat sederhana. Gema melambaikan tangan sampai gadis itu betulan pergi.

Sekarang, Gema dapat pulang dengan tenang. Tidak akan ada Hening dan Yuni yang saling jambak. Pasti.

Namun, angannya untuk cepat-cepat kembali ke rumah dan melanjutkan novel yang tengah dibaca terpaksa hancur. Bukan hancur, mungkin tertunda. Semua karena air mata Hening yang terbendung pada kelopaknya. Sekali kedip, dia akan meluncur bebas melewati pipi tembam. Kakinya terpaku tidak ingin beranjak. Semesta berpusat pada matahari, namun kali ini Hening merebut penuh semestanya. Spontan Gema berujar dalam hati, ia tidak akan meninggalkan Hening yang sedang tidak baik-baik saja.

_#_

S [ayo ikut PO S!!!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang