04: Nyanyi Merdu si Pencari Sunyi

98 32 3
                                    

"Diterangin tentang lukisan, tugasnya malah main musik, ah, an—!" Yuni gagal mengumpat ketika Hening menyenggol lengannya.

"Gak boleh gitu," ujarnya sambil terus berjalan.

Dengan tangan yang sama-sama hampir kram, Yuni dan Hening berusaha mempercepat langkah. Tumpukan buku menjulang tinggi nan berat harus diantar sampai ruang musik dengan selamat. Apa pun untuk Bu Hana.

Sebenarnya yang ditugaskan untuk ini bukan Hening dan Yuni. Ini adalah tugas Yuni seorang sebagai ketua kelas. Beberapa menit lalu dia mengeluh tak mampu di depan Hening sampai berakting norak. Hening rasa, Yuni mampu membawa buku-buku itu. Tidak perlu sekali jalan, bolak-balik kan bisa. Hening ingin berkata seperti itu, tapi Yuni semakin menjadi.

Langkah mereka terhenti sebab gerombolan siswa di depan. Dalam lorong sempit ini, tidak ada jalan kosong yang tersisa. Yuni memekik meminta untuk diberi jalan.

Ruang musik terletak cukup jauh dari kelas Hening. Kelasnya ada di ujung gedung bagian utara lantai satu, sementara ruang musik di ujung bagian selatan lantai tiga. Jadi jangan heran kenapa Yuni menjerit keras seperti orang kebelet pipis.

Selain lokasinya yang lumayan jauh untuk dicapai, Hening menyukai semua hal dari ruang musik. Pendingin ruangannya lebih dingin daripada di ruang kelas. Ruang ini juga cukup luas. Jarang sekali Hening dapati sampah pada tiap kolong meja yang ada. Kursi-kursi, alat musik, papan tulis kecil di depan, semua tertata rapi. Bagian terbaik dari ruangan ini adalah piano hitam mengkilat anggun di ujung sana.

Selepas menaruh tumpukan-tumpukan buku pada meja, Hening berlari kecil menghampiri jenis grand piano satu itu. Yuni yang terengah menjatuhkan diri pada kursi, kemudian tersenyum kecil melihat antusiasi Hening.

Di rumah, ada upright piano milik Papa. Tapi, Hening jarang menyentuhnya. Mama tidak suka mendengar suara alat musik. Makanya, dapat menyentuh tiap tuts piano seksi di jam istirahat adalah sebuah keberuntungan.

Hening duduk pada bangku hitam. Perlahan, penutup diangkat ke atas. Ia memandang tiap bagian tuts dengan mata berbintang-bintang seperti melihat makanan mewah untuk pertama kali.

"Main lagunya Chrisye, dong! Yang 'Andai Aku Bisa'," pinta Yuni yang berpangku wajah.

"Oke ...."

Hening menekan salah satu tuts seolah tengah cek suara. Mendengar suara yang keluar membuat hatinya berdebar. Dengan mengandalkan ingatan dan feeling, jemari lentiknya bergerak di atas tuts-tuts piano. Meski awalnya kaku akibat lama tidak berpiano, akhirnya Hening dapat kembali terbiasa. Instrumen lagu tahun 2000an yang sangat familiar di telinga Yuni, teralun dengan apiknya.

"Nyanyi dong, Ning, biar gak plain amat."

Dalam keadaan biasa, Hening akan berdecih dan menyebut Yuni banyak mau. Tapi untuk sekarang, biar Hening kabulkan banyak maunya.

_#_

Yuni sudah tidak di kelas. Tumpukan buku tugas teman lain juga ikut hilang dari meja guru. Gema memutar tubuh. Mengedar pandang seperti mesin scan. Dari sudut satu dengan yang lain. Memastikan sekali lagi apakah Yuni benar sudah pergi atau tengah bersembunyi di kolong meja.

Kenyataannya Yuni benar-benar tidak ada di kelas. Gerak-gerik bingungnya menarik minat seseorang untuk mendekat. Regina menyentuh bahu Gema pelan.

"Kenapa lo?"

Cahaya di tengah gelap. Air pada titik terpanas gurun pasir. Gema mendapat secercah cahaya bantuan dari sapaan ringan Regina. Buku latihan seni budaya dibuka lekas-lekas. Pada bagian paling belakang yang bersih tanpa coret, Gema mulai menorehkan tinta pulpen hitam. Huruf demi huruf. Kata demi kata. Sebuah kalimat sederhana tercipta dalam kurun waktu kurang dari satu menit.

S [ayo ikut PO S!!!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang