16: Sandaran

55 18 0
                                    

Gema menarik tangan Hening dengan tiba-tiba. Cewek itu dipaksa menoleh. Dengan sorot mata serius, ia bicara lewat gerak isyarat.

"Mau ke rumahku dulu?" Cowok itu diam sebentar, lalu menggeleng. "Ayo ke rumahku!" Ekspresinya kuat tak terbantah. Tapi cowok itu kembali menggeleng dengan pipi memerah. "Bunda masak soto ayam." Gema bergerak panik. "Enak banget! Hening harus coba."

Dengan alasan mengapresiasi wajah semerah tomat Gema, Hening menerima ajakan itu.

Lagi-lagi ia duduk sendiri di sofa ruang tamu. Gema sedang membersihkan diri di belakang. Rasanya seperti déjà vu. Tapi mungkin, Bunda Nisa tidak akan muncul dengan tiba-tiba seperti tempo hari. Hening tidak bisa berdebar karena grogi. Ia sibuk menahan tangis seraya meremat jemari tangan.

Kemudian Gema datang dengan kaus lengan pendek berwarna hitam. Baju sederhana itu memberi dukungan lebih untuk wajah tampannya. Kadang, Hening merasa dunia sangat tidak adil. Bagaimana bisa seseorang menjadi sangat tampan hanya dengan kaus hitam?!

"Mau makan siang dulu?" tanya Gema setelah keheningan menyergap mereka cukup lama.

Hening memberi jeda, sebelum akhirnya merasa siap untuk bicara. Namun ketika membuka mulut dan sudah siap mengangkat tangan untuk gerak isyarat, kosakata yang ada di kepala terbang pergi begitu saja. Bibirnya kembali mengatup. Hening berdeham mengusir gugup. Matanya ikut bergulir menjauh dari Gema.

Lelaki itu melirik jam dinding, kemudian tampak gelagapan. Gema berusaha meralat kalimat ajakan sebelumnya. "Maksudku, makan sore." Ia menunduk dalam menahan malu. Siapa yang makan siang di pertengahan antara pukul empat dan lima sore? Gema seketika merasa bodoh. Ketara sekali groginya, heh!

Setidaknya kita tahu, yang gugup di antara mereka tidak hanya salah satunya. Sayangnya, masing-masing dari mereka merasa menjadi satu-satunya yang demikian. Alhasil keduanya saling memalingkan wajah yang agak memerah. Ah, anak muda.

Hening dan Gema berhasil melewati situasi menegangkan satu itu. Dan untuk pertama kalinya, Hening menjejakkan kaki di dapur rumah Gema. Meja makan berbentuk persegi terletak di tengah-tengah. Ruangan minimalis namun bergaya. Susunan benda di tiap sudutnya sungguh tepat dan enak dipandang mata. Siapapun yang menata ruangan ini, pastilah punya selera yang bagus.

Hening menunggu di salah satu kursi makan. Gema sendiri berdiri di depan kompor, menghangatkan kuah soto yang masih sisa setengah panci. Seraya menunggu mendidih, Gema meracik isian soto seperti bihun, tomat, bawang daun, kecap, kol, dan lain sebagainya. Hening mengintip dari belakang, bagaimana pemilik punggung tegap itu bergerak-gerak lihai dengan kerennya. Lagi-lagi ia merasakan ketidakadilan. Kenapa tampilan belakang Gema bisa sekeren ini? Oh, Tuhan, Hening merasa ngeri dengan dirinya sendiri.

Aroma sedap menguar. Membentuk kepulan asap imajiner bak film kartun, yang dengan sengaja mengincar hidung Hening. Gema kembali pada Hening dengan satu mangkuk soto di kedua tangan. Ia membawanya dengan penuh kehati-hatian. Sampai di hadapan Hening, mangkuk disodorkan dengan bangga. Mata Hening langsung berbinar menatap tampilan soto yang sungguh menggiurkan.

Gema baru duduk di kursi arah jam tiga dari Hening setelah membawa mangkuk sotonya sendiri. Hening sibuk memandangi soto ayam yang memiliki tampilan indah tersebut. Sementara Gema, dia memandangi Hening. Walau tidak tersenyum, tapi Gema tahu ia tengah bahagia dari wajahnya yang tampak berseri. Berbeda dengan di halaman sekolah tadi, yang mana turut membuat dada Gema nyeri tergerogoti.

Gema menyentuh lengan Hening, kemudian berisyarat mengajaknya untuk makan. Kalau cewek itu terus memandangi seisi mangkuk, bisa-bisa sampai fajar menunjukkan batang hidung, soto di hadapan mereka masih juga belum termakan habis.

S [ayo ikut PO S!!!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang