Yuni melangkah dengan senyum sumringah. Lampu kerlap-kerlip menjadi latar yang sangat serasi dengan pancaran semangat empat lima dari wajahnya. Tidak lupa musik pengiring yang mendukung penuh segala kerlap-kerlip imajiner di belakangnya. Langkah kaki terhenti di samping meja Hening. Jam pertama nanti ada ulangan harian biologi. Tidak mau Hening mengalihkan pandangan dari buku tebal di depannya, walaupun Yuni sudah senyam-senyum seperti orang aneh dari samping.
"Adinda, hamba ingin bicara empat mata." Yuni berlutut dramatis.
Hening membalik halaman buku. Melirik saja ia enggan. "Kamu gagal audisi," sahutnya.
Yuni melengos. Dia kembali berdiri dengan kedua kaki. Kursi di samping ditarik. Bokong mendarat sempurna. Siku bertopang pada meja. Dia tersenyum manis seraya memangku wajah. Hening sendiri berdecak akibat wilayahnya terpaksa dipersempit.
"Kenapa?" Hening harus menghela napas lebih dulu sebelum melafalkan satu kata tanya itu. Butuh persiapan untuk telinganya ikhlas mendengar celoteh Yuni yang tak ada ujung.
"Lo tau akhir bulan ini ada apa?" Yuni bertanya. Dari intonasi, terdengar jelas kalau dia ingin Hening menebak.
"Gak tau dan gak mau tau." Hening membalik halaman buku.
Yuni mengerang manja seolah kecewa main-main. Tangan Hening ditarik-tarik. Usaha yang bagus untuk memancing emosi Hening. Tidak perlu menunggu tarikan ketiga, cewek itu sudah menghempas tangan Hening yang bergelendot. Ia kembali berdecak marah.
"Tebak dong."
"Acara OSIS," ujarnya tanpa minat berpikir.
Yuni membentuk silang dengan kedua tangannya. "Tetot! Jawabannya adalah ... kompetisi nyanyi!"
Hening langsung menjatuhkan buku. Terdengar bunyi buk pelan karena jarak yang tak terlalu tinggi. Mata terbelalak pelan. Mulut Hening terbuka, lekas ditutup dengan sepasang telapak tangan terbuka.
"Ya ampun, kaget banget!" ujarnya dipaksakan. Reaksi palsu.
Yuni mendorong bahu Hening yang kembali fokus pada buku. Entah dia fokus atau tidak di tengah celoteh cerewet Yuni. Si cerewet tidak berhenti membicarakan kompetisi bernyanyi yang tadi disebutkan. Ia membujuk dengan berbagai kata puja hiperbola. Hening dipuji-puji, menjanjikan keuntungan yang didapat kalau mengikuti. Sayangnya, Hening tidak mudah dipengaruhi. Menyanyi memang hobinya, dan biarlah selalu begitu. Hobi oleh dirinya, untuk dirinya. Menyanyi di depan orang dan juri-juri? Tidak lagi.
Gema datang. Hening kira, itu akan menghentikan mulut Yuni untuk bercerocos. Dan dugaannya sangat salah. Yuni memang berhenti berisik di samping telinga Hening. Tapi, dia beralih pada Gema. Lewat perantara kertas buku tulis, Yuni mengajak Gema untuk menjadi salah satu tim suksesnya. Karena itu, Hening kaget luar biasa ketika cowok itu tiba-tiba berkata lewat bahasa isyarat, "Aku dukung Hening kalau mau ikut lomba nyanyi! Seratus persen!"
Di samping, Yuni tersenyum. Seperti seorang pelatih yang bangga akan anak didiknya. Di sana Hening melempar tatapan sinis.
"Gini, ya--" Hening menutup buku biologi, "--gue gak akan ikut lomba apapun," matanya bergulir, dari Yuni ke Gema, "terutama lomba nyanyi."
Gema bertanya kenapa lewat gerak isyarat. Hening memilih untuk menyimpan alasan dalam kotak hati. Ia tidak mengidap demam panggung. Ia tidak meragukan keahlian bernyanyinya. Apapun alasan Hening, ia rasa Gema dan Yuni tidak perlu tahu.
_#_
Tanpa mencari-cari alasan untuk berada di luar rumah lebih lama. Hening sampai rumah pukul empat sore. Rumah sepi, tentu saja. Walaupun berkeluarga, Hening selalu merasa tinggal sendiri. Bedanya, ATM selalu terisi tiap bulan dengan nominal sama tanpa Hening perlu bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
S [ayo ikut PO S!!!]
Fiksi RemajaCek instagram @.stora.media untuk ikut pre-order S!! Dia bukan baja yang terkenal kuatnya, ataupun dandelion yang terlihat rapuh namun kuat di dalam. Dia Hening. Hening yang rapuh dan abu-abu. Hening yang jatuh hati pada keheningan. Dia Hening, kein...