"Rasa sakit karena perpisahan membuatku menyadari bahwa kita jauh lebih bahagia saat kita bersama."
•••
HAPPY READING
•••
Kini Clara sedang berada di perjalanan menuju rumah, hatinya mengerutu kesal karena teman dari pria yang sudah ia tolong itu malah memarahinya.
"Udah di tolongin bukannya bilang makasih, malah ngomel-ngomel." gerutu Clara tangannya memukul stir kemudinya.
Karena keasikan marah-marah ia tidak sadar kalau dirinya telah sampai di rumah. Clara memarkirkan mobil perkarangan rumahnya, kemudian ia masuk ke dalam rumah.
Clara melihat kedua orang tuanya sudah pulang dari Barcelona, mereka berdua sedang makan malam, sementara Clara hanya berjalan tanpa menoleh ke arah kedua orang tuanya.
"Kamu baru pulang?" tanya Arga saat melihat Clara lewat begitu saja.
Merasa di tanya Clara pun menghentikan langkahnya kakinya. "Iya," jawabnya singkat.
"Kamu sudah makan belum? Sini makan dulu, Bunda sudah masak makanan kesukaan kamu," ujar Clavani.
"Ara sudah makan tadi sama Bara, Ara ke kamar dulu."
Clara melanjutkan langkahnya kakinya menuju kamar. Arga dan Clavani hanya memandang punggung putrinya itu dengan sendu.
Sifat Clara mungkin kini sudah keterlaluan kepada orang tuanya, tetapi Clara tak bisa membohongi hatinya. Dirinya sangat marah kepada mereka yang tidak memberitahu yang sebenarnya kepada Clara saat ia berada di Barcelona. Saat ini juga ia benar-benar sedih harus kehilangan adiknya yang tersayang.
Clara terdiam pandangannya fokus pada sebuah bingkai foto yang tergeletak di meja belajar, dua gadis remaja itu sedang tertawa bahagia, Clara meneteskan air matanya saat mengingat kebersamaan pada foto tersebut.
•••
Sementara di tempat lain, tepatnya di rumah sakit anggota inti Alarga sedang menemani Marcel yang sedang di rawat.
"Gue gak nyangka ternyata yang nolongin gue cewek," kata Marcel berusaha menghilangkan keheningan di ruang tersebut.
"Kita harus balas dendam perbuatan mereka." sahut Reza yang sedari tadi memainkan suhu dingin AC.
"Gue setuju!" ujar Devano yang sedari tadi duduk di samping Sadam.
"Gimana kalau kita balas dendam, Gas?" tanya Aldo pada Bagas. Sementara yang di tanya hanya fokus pada sebuah foto gadis di ponselnya.
"Woi, Bagas!" teriak Devano membuat Bagas membuyarkan lamunannya.
"Huh? Apa?" jawabnya ke gelagapan.
"Lo dengerin kita ngomong gak, sih?"
"Gak perlu balas mereka!" kata Bagas kemudian ia keluar dari dalam ruangan untuk mencari udara segar.
"Kebiasaan itu anak, main pergi aja."
Bagas pergi menuju rooftop rumah sakit. Ketika semua mata terlelap di tengah malam. Ada yang masih terjaga di luar, lebih tepatnya di atas rooftop. Tatapan mata yang kosong bersama segelas minuman kopi yang sudah dingin karena sedari tadi hanya di diamkan tanpa di sentuh. Ia mengambil ponselnya dari dalam saku, kemudian membuka aplikasi galeri, yang menatap sebuah foto dua remaja pria dan wanita yang sedang menikmati wahana permainan di sebuah taman bermain.
Satu tahun berlalu begitu saja. Dirinya hampa tanpa seorang pujaan hati.
Satu tahun berlalu terhitung sampai detik ini. Satu tahun ia harus kehilangan orang yang ia cintai.
Hampa dan hampa. Apa yang ia rasakan dan apa yang ia kerjakan seolah mati rasa. Bagaimana ia berjalan, bernafas bahkan berbicara di tempat umum.
Semua seperti menghilang. Namun, saat ini ada sebuah pertanyaan, saat ia kembali namun dengan sifat yang berbeda. Ia atau dia yang kini sudah pergi, namun kini kembali lagi. Seolah hidup dalam kerangka yang tak bisa membuatnya mati rasa.
Menjalani hidup seperti orang normal, menutup hati yang menjerit bahkan menyiksa sampai ia tak layak bicara.
Bagas menghembuskan nafas berat. Ia menatap ke sekitarnya. Apa tidak cukup untuk melupakan seseorang dalam satu tahun? Tidak. Ia butuh waktu lebih lama lagi untuk melupakan hal yang menyakitkan. Atau bahkan selama hidupnya.
Pesan dari keluarga memintanya untuk mengikhlaskan, dan kembali hidup normal seperti biasanya. Bimbang dalam mengambil sebuah keputusan. Jika ia berusaha untuk seperti sedia kala, maka ia harus merasakan kembali rasa sakit, penyesalan, kehilangan, duka dan kematian seolah menghantuinya, namun dengan orang yang berbeda.
Bagaskara Dera Aditya mendesah pelan dengan mata yang terbuka. Ia hanya seorang pencundang yang tak bisa membuka hatinya kembali untuk merasakan cinta. Jeretan masa lalu mengikat dirinya bagaikan rantai masa depan yang tak pernah lepas. Semakin ia ingat, rasa itu semakin menjerat.
Apakah akan seperti ini selamanya? Hidup dalam bayang-bayangan masa lalu? Lalu sampai kapan semua ini akan berakhir?
Jika mengatakan bahwa dirinya tidak berusaha untuk membuka lembaran baru, maka apa yang dikatakan oleh semua orang itu benar. Ia tidak mencoba lebih tepatnya tidak ada rasa setelah hari itu untuk melanjutkan hidup.
Kepalanya menoleh ke samping saat seseorang berdiri sampingnya. "Mau sampai kapan lo terus-terusan kayak gini?" tanya Marcel. Marcel tahu apa yang dirasa oleh Bagas saat ini.
"Gue gak bisa hidup tanpa dia!" Bagas menitikkan air matanya, kemudian memeluk Marcel. Marcel paham bagaimana rasanya di tinggal orang yang kita sayang terlebih lagi Marcel pun pernah menaruh harapan pada Clarissa.
Sebenarnya Marcel pernah membenci Bagas karena pria tersebut telah berhasil mendapatkan sang pujaan hatinya, tapi ia tak mau berlanjut dalam kebenciannya di masa lalu.
"Lo harus lanjutin hidup, Gas! Clarissa pasti sedih lihat diri lo yang terus-terusan kayak gini,!" Marcel berusaha menenangkan Bagas.
Kehancuran Bagas saat ini membuat Marcel ikut hancur. Tidak ada yang bisa menggambarkan kepedihan Marcel saat melihat Bagas seperti orang yang kehilangan arah.
Di tinggal kepergian oleh orang yang kita di cintai sangat sulit. Terlebih lagi orang itu meninggalkan memori yang tak bisa terhapus dengan mudah. Tapi bukankah ini sudah berlarut-larut? Bagas harus melanjutkan hidupnya sebagai orang normal lainnya.
Bagas melepaskan pelukannya, ia mengusap wajahnya.
"Ayo, masuk, nanti lo sakit!" ajak Marcel. Walaupun di sini Marcel yang sedang terluka secara fisik, tetapi yang lebih terluka adalah Bagas yang terluka secara batin.
Next? Spam ya!
Lanjut gak??
Jangan lupa vote, follow ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASCLARA
Teen Fiction⚠️WARNING : Cerita ini banyak mengandung kata-kata kasar! Ini kisah seorang pria yang bernama Bagaskara Dera Aditya. Seorang kapten basket yang memiliki sikap sangat dingin terhadap seorang wanita, setelah kecelakaan satu tahun yang lalu itu terjadi...