Hallo, laute!
Jangan lupa votmen, ok!?•••
Happy reading
•••
“Gimana pertandingannya menang atau kalah?” tanya Dira sambil mengeluarkan barang-barang yang ada didalam tas putranya.“Gak tau,” jawab Bagas ketus.
Gerakan tangan Dira terhenti. Menatap punggung Bagas yang baru saja meninggalkannya. Wajah ceria Dira berubah menjadi sedih. Dira harus bersikap seperti apa agar Bagas ingin kembali berbaur bersama keluarga. Setiap kali Dira melihat anaknya, tidak ada secuil semangat yang Dira lihat. Hidup enggan, mati tak mau. Seperti itulah peribahasa yang tepat untuk saat ini.
Dira sudah berusaha untuk mengajak Bagas agar bisa berbaur seperti dahulu kala. Namun, Bagas selalu menjawabnya dengan ketus saat diajak bicara oleh kedua orang tuanya. Semua keluarga besar merasa ada sebuah bangunan kokoh yang Bagas bangun sehingga siapapun tidak bisa memanjatnya ataupun mendobraknya. Bagai orang asing setiap Dira menatapnya. Bukannya sosok putranya.
Bagas membuat perlindungan sendiri tanpa bisa di sentuh. Ada yang Bagas sesalkan telah mencapai titik sekarang dan tidak bisa menerimanya. Termasuk kecelakaan pada tahun lalu.
Andai kecelakaan itu tidak terjadi, andai ia tahu pada saat itu kecelakaan akan terjadi maka ia tidak pergi ke tempat tersebut. Mungkin semuanya akan baik-baik saja. Ada kekesalan yang Bagas tutup rapat jangan sampai kekesalan itu sampai bocor atau semua akan meledak. Jangan menyentuhnya. Maka sebaik mungkin Bagas menghindarinya.
Duduk sebentar di meja belajar sambil mendengarkan sebuah lagu. Ketika satu lagu sudah selesai, Bagas memutuskan untuk membersihkan diri.
Setelah selesai membersihkan diri, Bagas berjalan ke arah balkoni, hujan deras membasahi kota.
Bagas menatap langit mendung di atas sana. Suara lembut yang halus kembali terdengar di telinga Bagas. Membuat bibir Bagas tersenyum pedih.
“Sampai mau memisahkan kita.”
Hanya hujan yang tahu bahwa Bagas selalu menantikannya. Hujan yang tahu bahwa Bagas selalu mencintainya. Ia berharap ada satu titik hujan yang bisa mempertemukannya ia dengannya. Satu kali saja.
Bagas menyerah. Ia putus asa akan hidupnya yang hampa. Bagas tidak tahu apa yang sedang ia lakukan sampai sejauh ini. Bagas tidak bisa merasakan euforia pencapaiannya. Bagas tidak mengerti mengungkapkan kebahagian karena tertutup oleh luka yang tidak akan ada obatnya.Bagas lelah, Ia ingin berontak jika saja semua orang paham. Sakit sekali. Hidup dalam penyiksaan yang tiada henti. Bagas ingin mengakhiri, semuanya. Penderitaan dan cinta. Kenapa rasanya semua jalan tertutup untuknya. Bagas tidak menemukan jalan yang terang atau seseorang yang akan menuntunnya.
Rasa sesak di dada dan tangis yang tertahan membuat kaki Bagas melemah. Tubuh yang tidak bisa Bagas bedakan karena rindu membuatnya menangis.
“Clarissa,” Gumam Bagas menangis kecil dengan tubuh bergetar.•••
Di sebuah gedung yang menjadi pusat fashion. Sebuah Brand baru yang mencetak angka yang fantastis. Dengan meluncurkan style fashion terkini berhasil menarik perhatian dan mulai merambah ke luar negeri. Membuka cabang di dua puluh kota dan siap bersaing di kancah internasional.
Akan ada peluncuran terbaru bulan ini, sebuah pakaian pria. Tidak hanya pakaian melainkan ada parfume, sepatu, dan jam tangan akan menjadi peruntungan terbaru. Semua persiapan sedang berjalan. Untuk pemilihan model, tema, dan promosi besar-besaran.
Ruang studio yang luas, jepretan kamera tidak berhenti. Lighting menyala dengan sebuah lagu yang menjadi penyemangat berputar agar suasana tidak terlalu serius.
David menarik sebuah pakaian bersama sekretarisnya yang akan segera di luncurkan.
Meski penampilan berantakan dan wajah yang pusing karena banyaknya pekerjaan. Wajah tampannya terus terpancar, aura yang tidak di miliki oleh semua orang. Melepaskan jaket mengnyisahkan kaos hitam, ia mematikan music membuat semua orang terdiam.
Berjalan mendekati salah satu model yang kini sedang berhadapan dengan fotografer. Ia menatap model pria itu tajam. Kemudian tersenyum mengancingkan kemeja putih yang dipakai sang model.
“Lo bukan pemotretan untuk majalah ecek-ecek. Jangan sampai brand gue tidak menarik perhatian orang lain.” katanya tajam.
Model tersebut meminta maaf, pemotretan dilanjutkan.
David mendengus pelan. Berdiri di samping sang fotografer dengan tangan masuk ke dalam saku celana. Memperhatikan model dihadapannya yang terlihat kaku.
“Fokus di Brand gue, sialan!” kata David murka.
Deva melanjutkan pekerjaannya tanpa memperdulikan David di sampingnya. Hasil foto langsung masuk ke layar komputer, David melihatnya teliti. Matanya melihat sang model yang tidak mengikuti arahan sang fotografer.
“Stop,” Deva menahan tangan David yang ingin menghampiri model tersebut. “Santai, men. Gak usah emosi!” Deva yang duduk sejak tadi akhirnya berdiri. “Gimana gue gak emosi? Lo lihat tuh, model pilihan lo kerjanya gak becus!” balasnya kesal.
Semua pegawai yang sudah lama berkerja bersama dengan mereka melihat pertengkaran seperti itu sudah biasa, tapi untuk model-model baru sangat terkejut. Kabar mengatakan bahwa Kakak beradik itu tidak memiliki hubungan yang harmonis.
“Kalau bukan karena Papa, gue gak bakalan mau bantu lo!” kata Deva kemudian berkemas pulang.
“Lo bisa ganti dia dengan model yang lain,” Deva memutuskan untuk pulang. “Gue pulang duluan.” sambungnya pamit undur diri.
David menatap punggung Deva yang baru saja keluar dari ruang studio tersebut. “Arrghh!” teriaknya frustasi.
Bersambung....
NEXT?? SPAM SEBANYAK-BANYAKNYA!
SALAM ALARGA!🔥
KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASCLARA
Teen Fiction⚠️WARNING : Cerita ini banyak mengandung kata-kata kasar! Ini kisah seorang pria yang bernama Bagaskara Dera Aditya. Seorang kapten basket yang memiliki sikap sangat dingin terhadap seorang wanita, setelah kecelakaan satu tahun yang lalu itu terjadi...