Bab 1

36.8K 1.8K 169
                                    

Hai ini adalah cerita baruku, setelah berdebat panjang dalam pikiranku, aku putuskan untuk menulis lagi... Sepenggal kisah aku ambil dari kisah author sendiri ya... Selamat membaca, jangan lupa Vote dan komennya ya... Makasih....
.........................................................................

Hari ini adalah persidangan perceraian ayah dan ibunya, rasanya ia sangat malas sekali melangkahkan kakinya menuju ke kantor pengadilan. Teen tidak beranjak pergi, ia terpaksa harus pergi untuk mendengarkan keputusan pengadilan. Tapi ia tidak akan pergi, ia hanya akan menunggu di rumah saja. Masalah keputusan hak asuh anak, Teen tidak perduli. Bagaimana aku akan perduli, selama ini mereka berdua tidak pernah perduli denganku?

Teen pergi mengambil ponselnya lalu menelpon sebuah nomor telpon yang ada di ponselnya. Di layar Iphone dua belas pro max nya tertulis nama 'Rumah dijual.'

Teen selesai menelpon orang itu, Sebenarnya Teen baru saja menelpon pemilik rumah itu. Teen membeli rumah itu dari uang tabungannya yang di berikan oleh ayah dan ibunya, belum lagi harta warisan yang di tinggalkan oleh kakek dan neneknya. Kakek dan neneknya sengaja mewariskan semua harta kekayaannya kepada cucunya yang malang itu karena mereka tau ayah dan ibu Teen hanya akan menghabiskan uangnya. Teen mulai mengemasi barang-barangnya, saat ia akan pergi kedua orang tuanya baru saja tiba dari pengadilan.

"Loh, Teen. Mau kemana kamu nak?" Seru Ayah Teen.

Teen tidak menjawab, ia hanya diam dan berlalu pergi. Lalu ibu Teen berbicara. "Dengar Teen, hak asuhmu jatuh ketangan ibu, kamu tidak boleh pergi kemana-mana."

"Apa perduliku? Selama ini kalian juga tidak pernah perduli, di rumah ini aku juga hanya sendiri. Rumah mewah dan besar bagaikan neraka, kalian cuman sibuk dengan urusan kalian. Sibuk dengan selingkuhan kalian masing-masing." Sahut Teen begitu saja tanpa memikirkan ekspresi wajah yang berubah.

Plaaaaak

Ibu Teen menamparnya, lalu Ayah Teen memarahi Tina, ibunya Teen. "Keterlaluan kau Tina, apa yang kau lakukan ha?"

"Anak ini menjadi kurang ajar saat tinggal bersamamu," sahut Tina.

Roy hanya menggelengkan kepalanya, Teen hanya memegangi pipinya dan berbicara. "Aku benci kalian berdua, jika aku boleh memilih, aku tidak akan pernah mau di lahirkan dari keluarga ini. Aku benci kalian aku Benciiiii... Aku tidak akan ikut siapapun, lebih baik aku mati saja."

Tina tersirat darahnya saat mendengar itu. "Teen, tunggu nak.. maafkan ibu.. Teen..."

Roy tidak mengejarnya ia sedikit frustasi. Teen pergi berlalu begitu saja, ia mengendarai mobilnya dan pergi sejauh mungkin. Tina dan Roy hanya merenungi kejadian barusan, setelah di pikir-pikir selama ini mereka salah, mereka pikir dengan uang dan memberi semua kebutuhan Teen akan membuatnya bahagia, tapi nyatanya tidak. Yang Teen butuhkan hanyalah kasih sayang kedua orang tuanya bukan bencana seperti ini. Tidak ada yang tau Teen akan pergi kemana, yang jelas ia hanya ingin hidup dengan damai dan jauh dari ayah dan ibunya.

Beberapa bulan sebelum perceraian...

Teen terkenal sebagai anak yang periang di sekolahnya. Di sekolah Teen memiliki banyak teman bukan karena ia anak orang kaya atau konglomerat, melainkan karena kebaikan hatinya, kesabarannya, dan tentu saja wajahnya yang sangat tampan dan manis. Saat ini Teen berusia enam belas tahun dan baru saja merayakan ulang tahunnya. Ya... Seperti biasa, Teen hanya duduk manis di rumah yang seluas lapangan bola, duduk di depan meja makan yang selebar halaman rumahnya, dan hanya di temani sebuah kue tart di hiasi lilin angka enam belas, juga ada beberapa pembantu yang menemani.

"Tuan muda, tiup lilinnya dulu sudah meleleh..." ujar salah satu pembantu.

"Biar aja bik, aku males... Selalu begini, mereka janji padaku akan pulang lebih awal, tapi nyatanya tidak." Sahut Teen sambil berlalu pergi.

Ke empat pembantu itu hanya menatap nanar kue Tart itu dan juga Tuan muda mereka. Sesampainya di kamar Teen mengambil sepuntung rokok dan duduk di balkon, bahkan ia mengambil sebotol minuman beralkohol yang ia simpan di lemarinya. Air matanya menetes tanpa ia sadari, selama bertahun-tahun bahkan sejak ia masih kecil kedua orang tuanya tidak pernah ada saat ulang tahunnya. Teen duduk sambil memandangi bintang di langit, sudut bibirnya bergerak membentuk senyuman miris. Tiba-tiba dari luar terdengar suara keributan. Teen hafal betul suara itu dari mana berasal.

"Ini semua salahmu, sebagai istri kau hanya sibuk memikirkan karir dan kesenanganmu saja." Seru Roy.

"Heh kau, macam kau sudah  benar saja Roy, kau pikir aku tidak lelah setelah bekerja ha?" sahut Tina.

Suara gaduh itu semakin lama semakin tedengar jelas di telinga Teen dan membuat hati Teen semakin sakit. Teen menutup telinganya dengan kedua tangannya agar dirinya tidak bisa mendengar semua kegaduhan itu. Terdengar seperti suara melempar barang, Tina mengamuk sejadi-jadinya. Teen hanya tersenyum miris lalu ia mengambil botol minuman itu dan melempar keras kearah pintu dan...

Praaaaang...

Botol itu pecah, bahkan Teen juga memecahkan cermin di kamarnya. Teen mengambil potongan kaca itu, ia menyayat lengannya dengan kaca itu. Setelah itu ia beralih ke urat nadinya, di luar Roy dan Tina mulai panik. Roy mendobrak pintu dan melihat Teen sudah berlumuran darah. Roy dengan sigap membopong Teen dan melarikannya kerumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung memeriksa Teen dan memberi tindakan. Saat dokter keluar dari ruangan, dokter itu melihat Roy dan Tina saling menyalahkan.

"Kalau terjadi apa-apa denga  Teen, aku tidak akan segan-segan membunuhmu Tina." Ujar Roy.

"Oh kau berani? Siapa yang memulai duluan? Kau kan bukan aku," sahut Tina.

Dokter tampan dan manis itu keluar dan menyuruh mereka berhenti. "Ekheeem... Maaf ini rumah sakit, jika kalian ingin bertengkar maka pergi dari sini."

"Maaf dok... Tapi bagaimana dengan kondisi anak saya?" ujar Roy.

Dokter itu menghela napas lalu berbicara. "Anak anda kritis dan kehilangan banyak darah. Saya harus melakukan transfusi darah, tapi golongan darah O+ kami kehabisan Stok."

"Ambil darah saya dok, saya ayahnya dan darah saya sama O+" ujar Roy.

"Baiklah, kita periksa dulu." sahut dokter itu yang bernama Miller.

Roy pergi keruangan pemeriksaan, ia berhasil mendonorkan darah untuk Teen, lalu Teen berhasil melewati masa kritisnya. Saat Teen sadar, dokter itu tersenyum manis kearah Teen. "Syukurlah kau sudah sadar."

Teen memandangi dan menelusuri setiap sudut ruangan, ia hanya tersenyum malas. Terlihat sejuta kesedihan, kesepian, dan berbagai macam penderitaan di mata Teen. Dokter Miller tidak tau harus berbuat apa, akhirnya Dr. Miller pun berbicara. "Saya panggilkan kedua orang tuamu dulu."

Teen dengan sigap menarik lengan baju Dr. Miller, lalu Teen dengan lemah berbicara. "Saya tidak mau bertemu dengan orang tua saya, tolong suntik mati saya saja."

Deg...

Dr. Miller terkejut, lalu ia mengusap surai Teen dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu kamu istirahat saja. Saya kembali keruangan saya dan menyuruh suster memindahkan keruangan lain."

Teen mengangguk lemah, lalu Dr. Miller pergi keluar. Roy dan Tina menanyakan keadaan Teen. "Bagaimana keadaan anak saya dok?"

"Teen sudah sadar, dia sudah melewati masa kritisnya." ujar Miller.

"Kami bòleh melihatnya dok?" Sahut Tina.

"Maaf nyonya, Teen butuh ketenangan. Biarkan dia istirahat dulu, untuk saat ini bapak dan ibu pulang saja dulu," Sahut Miller.

Roy dan Tina mau tidak mau harus menelan pil pahit, mengetahui kenyataan bahwa putra tunggal mereka tidak ingin di temui. Sedikit sakit, mereka pun akhirnya pulang dan mengendarai mobil masing-masing...








Bersambung...

Jangan lupa Vote dan komennya ya....




BL - MY BOY FRIEND IS SUGAR DADDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang