Bab 2

20K 1.4K 139
                                    

Jangan lupa Vote dan komen ya, biar aku semakin semangat nulisnya... Thank U...

.........................................................................

Masih dirumah sakit, Teen berbaring sambil menatap langit-langit rumah sakit yang berwarna putih, lalu Dokter Miller masuk kembali kedalam ruangan itu. Teen menoleh dan memasang wajah melasnya. Dokter Miller berbicara. "Kamu butuh sesuatu?"

Teen menggeleng dan bersuara pelan. "Aku ingin mati saja dok,"

Deg...

Jantung Miller serasa mau berhenti berdetak mendengar ucapan anak ini. "Kenapa kamu sangat ingin mati? Padahal orang yang sakit disini, yang di rawat disini ingin sembuh dan hidup, tapi kamu malah ingin mati. Lagi pula membuat orang mati bukan pekerjaanku, itu urusan tuhan. Ceritakan saja jika kamu ingin menceritakan sesuatu."

Dokter Miller adalah dokter yang sangat ramah dan murah senyum, dan hal itu membuatnya terlihat sangat tampan dan menarik. Namun jika di bandingkan anak di depannya yang menderita dengan wajah pucat nyaris sama pucatnya dengan warna tirai di sampingnya, ketampanan Teen maaf bukan tampan, tapi Teen terlahir sebagai pria dengan wajah yang cantik  penuh dengan pesona. Siapa saja yang melihat Teen akan merasa melihat malaikat dengan mata sendu bermanik coklat, bibir merah ranum, mata bulat dan bulu mata lentik. Kulitnya halus bersih dan terawat. Namun bagian lain harus menderita bekas goresan yang ia buat.

Setelah menahan air matanya, Teen pun meneteskan air matanya kembali. Dokter Miller buru-buru mengambil sapu tangan dan menghapus air mata itu. "Apa ada yang sakit, katakan dimana?"

Teen memegangi dadanya yang sakit, namun bukan karena luka atau cedera, melainkan sakit batin yang teramat sangat. Dokter Miller berbicara. "Apa dadamu yang sakit? Kau merasa sesak atau bagaimana?"

"Batin saya yang sakit dok, saya terluka secara lahiriah. Sejak dalam kandungan saya sudah tidak di inginkan oleh kedua  orang tua saya." Sahut Teen.

Dokter Miller menghela napas sedikit, lalu berbicara. "Bagaimana mungkin mereka tidak menginginkan kamu? Setiap orang tua selalu mendambakan seorang anak,"

"Dokter tidak akan pernah mengerti." Sahut Teen sambil membelakangi dokter Miller.

Miller ingin berbicara lagi, tapi suasana hari Teen sedang dalam kondisi yang tidak baik. Miller menelpon seorang temannya yang juga bekerja di rumah sakit itu. Dia seorang Psikolog, ia ingin membantu Teen menghadapi masalah ini. Tapi kenapa dia ingin membantu Teen?

Pada dasarnya semua dokter ingin membantu pasiennya jauh lebih baik, tapi kali ini Pasien yang ia hadapi cukup rumit. Masalah keluarga yang ia hadapi membuat hati seorang Millee tersentuh. Hari sudah malam, Miller membiarkan Teen beristirahat dan tertidur. Tapi saat Miller pergi dari kamar Teen, Teen bangun dan duduk bersandar di tembok. Ia bangun dan melepas selang infus yang masih menempel di tangannya. Teen tidak butuh itu, meski sudah malam hari, ia berani keluar dan berjalan-jalan sekitaran rumah sakit. Tapi belum dia jauh ia bertemu lagi dengan Miller.

"Teen, kenapa kau keluar? Dimana selang infusmu?" tanya Miller.

"Saya bosan dok, saya mau jalan-jalan aja." ujar Teen.

"Tapi sudah malam, ayo kekamarmu. Atau mau keruangan saya?" sahut Miller.

"Keruangan dokter  aja," sahut Teen.

Miller sebenarnya tidak ada tugas sampai malam, namun ia merasa khawatir dengan keadaan Teen saat ini, anak ini butuh teman untuk berbicara, tapi Miller adalah orang yang tidak pandai mengambil hati seseorang, jadi ia hanya mengatakan hal-hal yang ada di pikirannya saja. Mereka sampai diruangan Miller, sesampainya disana Miller memasang kembali selang Infus yang baru. Pandangan mereka bertemu, jantung Miller berdegub kencang, bahkan ia mampu mendengarkan detak jantungnya sendiri. Berbeda dengan Teen, yang sudah tidak memiliki gairah hidup, wajahnya tetap datar dan lemah. Miller selesai memasang selang Infus tadi, Miller mengambilkan minum untuk Teen.

BL - MY BOY FRIEND IS SUGAR DADDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang