utföringsform

202 35 2
                                    

utföringsform

bentuk perwujudan

28 Agustus, pukul 13.26

Tokyo, Jepang.

Hari ini hari terakhir bagi [name] dan Kumiho berlibur ke Ogasawara, hanya tiga hari lamanya mereka menetap di wilayah itu. Keduanya kini tengah berjalan mencari udara segar di jalan dekat pantai. Biru. Yang terlihat dari indera penglihatan didominasi dengan warna biru. Langitnya dan juga lautnya.

"Kita mampir sebentar ke toko suvenir," ajak Kumiho pada anaknya.

[name] menangguk tanda setuju dan tak masalah dengan ajakannya. Beberapa tempat mereka lewati dalam keheningan, ditemani semilir angin musim panas yang lewat. Bunyi bel sepeda yang dibunyikan memekik nyaring saat keadaan hening, kemudian sang pengendara menolehkan kepalanya menghadap [name] dan Kumiho.

"Selamat siang! Semoga harimu menyenangkan!"

Doa yang diucapkan sang pengendara berbaur dengan suara kerikil kecil berbenturan dengan ban sepeda. "Terima kasih banyak!" Kumiho berseru, juga mewakili jawaban sang anak, [name]. "Orang yang ramah," gumam [name]. "Iya, orang yang ramah," balas sang ibu, Kumiho. 

"Apa Nanami orang yang ramah?"

"Iya, dia ramah, ngomong-ngomong kenapa jadi membahas hal ini?"

"Tak ada salahnya 'kan, kalau seorang ibu penasaran dengan cinta pertama anaknya? Kau juga harus selektif memilih pria, apalagi jika kau benar-benar ingin melanjutkan hubungan dengannya ke jenjang yang lebih serius, misalnya pernikahan, ibu tidak mengizinkanmu untuk pacaran itu tidak baik."

"Iya.. baiklah, lagian belum tentu dia suka kepadaku, barangkali ini menjadi cinta sepihak sama halnya seperti buku romansa picisan di rak bukuku."

Kekurangan [name] menyelimuti pikirannya, pesimis. Beranggapan buruk terlebih dahulu, mungkin ia menganggap ini sebagai realistis, tapi realistis yang terlalu buruk kemungkinannya. Tangannya menggaruk tengkuknya dengan canggung. Atmosfer disekitar perjalanan menjadi sedikit terik juga lembab.

"Ibu yakin ia juga menyukaimu, anak ibu ini 'kan yang paling cantik!" Seolah menyemangatinya, Kumiho berseru riang.

"Menurut ibu begitu?"

Diliriknya kaki kirinya, terpasang kaki bionik sepanjang 18 sentimeter dari tumitnya. "Bagaimanapun keadaanmu, kau akan tetap menjadi putri ibu yang cantik, percayalah," Kumiho berkata lembut kemudian mengusap pipi [name] seperti memenangkannya dari pikirannya. Bahwasanya dunia inilah yang memiliki cara pandang salah terhadap anaknya. Bukankah tugas ibu itu menjaga, merawat, memberinya pendidikan etika dan wawasan, memenangkannya, memberinya kasih sayang hingga ia sudah tak bernapas lagi?

"Terima kasih, bu," Mata [name] menyayu.

Tak mau berlarut dalam keadaan melankolis ini, keduanya berjalan dengan kondisi lebih segar ketimbang sebelumnya. Setelah lama berjalan kaki, mereka menemukan toko souvenir sederhana dengan plakat toko tua nan usang. Kesan klasik dan hawa nostalgia menyelimuti toko itu, terkesan ringan namun juga penuh kehangatan. Toko itu tampak mengatakan kata rayuan pada mereka, "mari kemari nona! Saya akan menghangatkan hatimu seperti sedia kala!"

tacenda、 nanami kento.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang