realmente

169 24 1
                                    

realmente

sebenarnya

13 Oktober, pukul 21.48

Tokyo, Jepang.

"Ayo, optimis! Dia pasti mengerti, sekarang waktunya untuk tenang dan berpikir jernih, oke?"

"Jangan berpikir terlalu keras tentang jawabannya, yang penting dia bisa nyaman berada disampingmu dulu."

Kotoha mengaplikasikan bedak ke wajah [name] pelan-pelan, mengoleskan pelembab bibir ke atas bibir [name], menciptakan efek mengkilap yang samar. Tatsumi merapikan tatanan rambut [h/c] [name] yang digerai. Dirasa sudah cukup, mereka menyodorkan kaca untuk [name].

"Cantik. Hebatnya.. Makasih, ya, kalian benar-benar bisa diandalkan," [name] mengacungkan ibu jarinya sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras Kotoha dan Tatsumi. "Bukan masalah, sebaiknya kau berangkat. Kami akan mengawasimu dari jauh, barangkali terjadi sesuatu," Tatsumi mengemasi barang bawaannya, yang disusul dengan Kotoha.

[name] keluar dari apartemen terlebih dahulu, sembari menetralkan detak jantungnya yang kian kencang berdetak. Sesekali mengambil napas dalam dan mengjembuskannya pelan untuk menetralisir rasa gugupnya. Langkahnya membawa dirinya ke sebuah toko roti yang direkomendasikan oleh Nanami sebelumnya, melewati pesan singkat.

Suasana Tokyo masih hidup walau hari berganti malam, beberapa muda-mudi pergi bergerombolan menghabiskan waktu bersama dengan pergi ke tempat hiburan semacam pusat perbelanjaan dan arcade. Angin malam berhembus pelan, mendinginkan kembali suhu yang sedikit naik karena sesak oleh manusia.

Lampu memijarkan cahaya, memerangi langit malam yang gelap. Hiruk pikuk pusat perbelanjaan menarik para pejalan kami untuk singgah sementara. Manik [name] mengamati setiap pejalan kaki yang ia lewati, berharap menemukan sosok Nanami diantaranya.

"[name], di sini," Suara Nanami terdengar di telinga [name].

Sontak, wanita itu menolehkan pandangannya ke arah suara. Dan mendapati sosok Nanami mengenakan pakaian kasual dibalut dengan coat berwarna cokelat muda, tengah melambaikan tangannya ke [name]. Wajah [name] terpaku pada keindahan wajah Nanami. Tulang pipi yang tinggi, hidung mancung seperti orang barat, bibir tipis yang simetris, serta alis dan mata yang tenang.

Visual yang disiram oleh cahaya lampu kuning kejinggaan, menambah pesona dari Nanami. Tampak ini rasanya tak berasal dari Jepang. "[name]?" Nanami mengibaskan tangannya di depan wajah [name], guna menyadarkan wanita itu dari lamunannya. "Ah, maaf malah melamun," cicit [name], tubuhnya sedikit membungkuk.

"Mari, ke toko roti itu."

Mereka akhirnya berjalan berdampingan, menuju toko roti langganan Nanami. Semilir angin menggantikan suara mereka yang tak kunjung keluar. Entah karena apa, mereka memiliki untuk diam, padahal sebelum ini mereka bisa berbicara banyak hal.

"Nanamin!"

"Oh, Nanami-san."

Yang dipanggil menolehkan kepalanya, bersamaan dengan [name] yang ikut tertarik dengan panggilan itu. Tiga remaja SMA berjalan menuju Nanami dan [name]. Dua laki-laki, satu diantara mereka memilki surai berwarna merah mudah yang tak begitu terang dan yang satunya lagi memiliki surai hitam--atau mungkin biru gelap--yang tampak seperti bulu babi. Dan satu perempuan dengan surai cokelat muda.

tacenda、 nanami kento.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang