hennes favorit

180 30 1
                                    

hennes favorit

kesukaannya

30 Agustus, pukul 21.38

Tokyo, Jepang.

Figur Nanami terduduk disalah satu kursi di cafè yang ia dan [name] sering kunjungi. Suasana lebih runyam ketimbang waktu lalu. Kini, Nanami tengah menunggu kehadiran dari [name]. Setelah beberapa waktu tak mengadakan pertemuan, mereka kembali mengatakannya saat ini.

Ya, setelah jawaban tak mengenakan itu terjadi, jelas mereka akan lebih canggung, begitu pikir Nanami.

Bel pada pintu berbunyi, bersamaan dengan pintu terbuka yang menampilkan siluet [name]. Figur wanita itu bergegas menuju tempat Nanami duduk tenang. "Sudah lumayan lama tidak bertemu, apa Nanami-san merindukanku?" Setengah bertanya dan menggoda, [name] membuka suaranya.

"I-" Baru saja Nanami ingin menjawab, suaranya terlebih dahulu dipotong.

"Hanya bercanda, kok. Mana mungkin Nanami-san merindukanku ini," sanggah [name] sambil meletakkan bungkus karton di atas meja.

Tangan [name] mendorong bungkus tersebut lebih dekat dengan Nanami yang masih kebingungan karena benda tersebut. "Ini.. apa?" Nanami meraih bungkus itu ragu-ragu. "Oh, itu oleh-oleh," jawab [name]. "Beberapa waktu lalu aku berlibur ke Ogasawara, Nanami-san tahu musim panas itu kurang kalau tidak berlibur sama sekali, apa ya.. agak hambar. Saya harap Nanami-san suka oleh-olehnya," jelas [name] sambil menggaruk tengkuknya, tidak tahu harus bergerak seperti apa.

Nanami membuka selotip yang ditempelkan perlahan, untuk membuka celah walau sedikit. Bingkisan sederhana tertata berkat kemampuan Kumiho, ibu [name]. Jam tangan bergaya Barat, bubuk kopi berbalut toples kaca antik, penjepit dasi berbahan alumunium, dan parfum dengan wangi maskulin yang cocok bagi Nanami.

Benar-benar khas Nanami.

"Yah.. saya tak tau apa Nanami-san akan suka dengan ini atau tidak."

"Aku menyukainya."

"Eh? Sungguh?"

"Iya, terima kasih."

Nanami memandangi benda tersebut dalam kegelapan, masih terlihat walau samar oleh hitam. [name] mengelus dadanya dengan tenang, setidaknya Nanami menyukai pemberiannya. Ingat.. dia menyukai pemberian yang aku berikan, bukan diriku ini, batinnya menyeru. Perkataan dirinya sendiri itu membuatnya merasa tersakiti.

"Ogasawara itu letaknya 1.000 kilometer ke arah Utara dari pusat Tokyo, sekali-kali Nanami-san harus coba kesana! Nanami-san tahu, udara disana segar ketimbang udara perkotaan ini. Ah! Lautnya juga tenang, mungkin Nanami-san tipikal yang suka ketenangan alam terbuka, aku benar-benar merekomendasikannya," jawab [name] panjang lebar.

"Disana jernih sekali! Rasanya seperti ke Osaka, tapi hawanya masih atmosfer Tokyo. Mengertikan? Perpaduannya cocok, disana juga banyak makanan yang harus Nanami-san coba! Tampaknya Nanami-san itu orang yang suka kuliner.." lanjutnya.

Nanami mendengarkannya dengan cermat, tak bosan mendengar suara tegas namun bersamaan juga lembut dari mulut [name]. Ia menikmati percakapan ini, meski hanya mendengarkan saja, ia merasa semua penat yang ada di punggungnya hilang tersapu alunan musik dari pengeras suara. "Intinya disana seperti surga setelah bekerja semalam suntuk," final [name].

"[name]-san menikmatinya?" Suaranya lembut, setidaknya kali ini ia menanyakan hal yang lumrah hanya untuk memperpanjang pembicaraan.

"Iya, tentu saja! Semua yang berlibur kesana pasti juga menikmati liburan mereka."

"Kapan-kapan saya akan mengajak Nanami-san pergi bersama, bagaimana?"

"Akan ku tunggu."

Percakapan itu berlangsung, memecah menjadi berbagai topik. Namun dengan seksama Nanami mendengarkan. Semua yang diucapkan [name] terekam pada otaknya, lalu tersimpan secara otomatis. Pria itu tak merasa jenuh, meski apa yang [name] bicarakan adalah topik biasa dan gurauan.

Sesekali berhenti ketika merasa tenggorokannya butuh air untuk memuaskan dahaga. Kemudian kembali bercakap seperti sebelumnya. Terasa singkat, tapi waktu berjalan menuju pukul sepuluh malam dengan cepat.

Padahal ia ingin lebih lama meluangkan waktu bersama.

Di pertemuan tak rutin dan acak ini.

Tapi tampaknya, semua harus kembali ke tempat seharusnya.

"Sudah satu jam lebih aku mengoceh, maaf, ya! Terus.. Apa Nanami-san tidak bosan mendengarkan ocehan tak guna dariku?"

Nanami menggeleng, walau ia tahu [name] tak dapat melihat pergerakannya secara jelas. Tapi setidaknya, ia mengerti suasana hati sang puan. Kebahagiaan sementara itu menyelimutinya, seperti produk yang dibungkus plastik.

"Tidak, suaramu.. Aku menyukai suaramu, jadi bukan masalah besar jika kau terus berbicara padaku."

Jantung [name] berdebar ketika Nanami menyatakan kesukaannya--walau itu hanyalah suaranya yang pria itu sukai--di depannya secara langsung. Tak apa, yang penting ada salah satu darinya yang disukai oleh Nanami, begitu pikirannya berkata.

Malam tenang, mereka saling mengutarakan kesukaannya, yang sebenarnya hanyalah kain penutup dari perasaan sesungguhnya.








to be continue.
__________________________

maaf telat sehari, kemarin saya ngebut ngerjain tugas jadinya sama sekali gak buka Wattpad. chapter selanjutnya bakal saya update (insyaallah) tanggal 21, ya.

sekian dulu, makasih atas support-nya <333

tacenda、 nanami kento.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang