Rencana membeli laptop bersama Gama gagal. Aku pulang naik ojek daring begitu jam di kantor menunjukkan pukul dua siang. Satu, karena aku marah pada Gama; dua, karena aku tidak ingin menimbulkan kehebohan lain.
"Ma...," panggilku begitu masuk ke dalam rumah. Bergerak mencari Ibu Rosalia yang biasanya sibuk dengan ponselnya menyebar hoax di grup whatsapp keluarga. "Ma!" seruku setelah menemukan Mama yang selonjoran di sofa ruang televisi sambil memegangi ponselnya.
"Apa sih, Nda?" Mama bergerak duduk, "Tumben pulang kerja masih bisa teriak-teriak. Biasanya kan nggak ada tenaga." Dia masih sempat mengomentari kebiasaanku.
"Ma, Mas Gama kerja di perusahaan Vanda," pekikku menahan histeris, "sejak kapan dia di sana?"
"Sejak awal."
"Mama bilang Mas Gama kerja di perusahaan elektronik!"
"Kan sama, Nda."
"Bedalah, Ma. Perusahaan Vanda bikin lampu. Cuman lampu, nggak ada yang lain, Ma!"
"Mama tahu nggak, kalau Mas Gama jadi manajer divisi pemasaran?"
"Tahu sih kalau dia jadi manajer. Jadi Gama di divisi pemasaran?"
"Kok Mama nggak bilang ke aku sih!" seruku putus asa. Seharian ini Bian dan Isa menggodaku dengan gurauan orang dalam.
Mama meletakkan ponsel yang ia pegang, "Kamu ngunci diri di kamar mulu tiap kali mama mau ngomongin perkara kepulangan Gama."
Mulutku terkunci otomatis. Ingatanku kembali pada kejadian beberapa hari lalu ketika aku lebih banyak mengunci diri di kamar. Galau karena kelakuan Galen.
"Mau kemana?" tanya Mama begitu aku berbalik arah pergi meninggalkannya. Dalam perjalanan pulang aku sudah membayangkan akan memarahi Mama habis-habisan tapi mendengar jawabannya barusan membuatku sadar bahwa itu kesalahanku.
"Mandi."
"Lagipula kenapa kamu protes sih kalau Gama satu perusahaan sama kamu? Bukannya bagus ada Gama di sana?" teriak Mama saat aku sudah menaiki tangga menuju ke kamarku yang di lantai dua.
Kalau sampai semua orang berpikir aku masuk ke perusahaan dengan bantuan orang dalam, aku pasti akan kelelahan untuk membuktikan bahwa aku lebih dari mampu menerima pekerjaan itu.
Aku tengah mengeringkan rambut ketika suara membahana Mama terdengar sampai ke lantai dua dua puluh menit kemudian. Memberitahu bahwa ada Gama di bawah. Aku tak menjawab wanita paruh baya itu, pura-pura budek.
"Panda," panggil satu suara berat dari belakangku. Aku yang tengah bekerja dengan pengering rambutku memakai trik yang sama seperti pada Mama, menulikan telinga. Sepertinya Gama mendapat laporan dari Mama bahwa aku histeris karena Gama jadi manajer.
"Mas bawain pizza, Pan," katanya lagi. Berusaha menyuapku.
Aku mematikan pengering rambut, menoleh pada asal suara dan sudah menemukan Gama berdiri di ambang pintu, memerhatikan seluruh kamarku yang dulunya ia tempati. Selesai mendengus padanya dan berkata "cih" aku kembali menyalakan pengering rambut. Kembali bekerja dengan rambutku yang setengah basah.
Tak ada suara dari Gama selama dua menit. Kupikir anak kesayangan mama itu sudah turun dan minta bantuan pada Mama untuk membujukku agar tak marah lagi, tapi dugaanku salah. Gama kembali bersuara.
"Mas Gama nggak ngerti kenapa kamu marah hanya karena kita satu perusahaan."
"Karena aku nggak suka ada yang mikir kalau aku punya orang dalam, punya previlige, terhubung dengan orang penting yang bisa membuatku lebih populer, terus aku naik jabatan, dan naik gaji." Kenapa setelah mengeluarkan semua protesku, hal-hal yang baru kuucapkan malah terdengar menguntungkan? Aku berbalik. Tak ingin membuat diriku tergoyahkan. Kembali menyibukkan diri dengan mesin pengering rambut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fool who Rocked my World
ChickLitKadang kala, tokoh utama dalam kehidupan kita hadir di saat paling tak terduga. *** Vanda dimintai tolong sahabatnya, Annita, untuk mengawasi Galen -pacar Nita- yang adalah teman satu divisi di kantor tempat Vanda bekerja. Sayangnya, tugas itu jadi...