XI

12K 2.1K 261
                                    

Tujuh belas tahun lalu tepatnya, ketika Gama muncul di depan rumah dengan satu tas punggung yang tidak terlalu besar. Bisa dikatakan, dia adalah anak kos pertama yang mengisi rumah Ibu Rosalia begitu perempuan itu mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja dahulu.

Usiaku baru tujuh tahun kala itu ketika Gama mengisi salah satu kamar terbesar di lantai kedua rumah kami. Masih terlalu segar diingatanku bagaimana penampilan Gama hari itu. Dengan rambut ikalnya yang mulai memanjang, Gama tampak lusuh dengan kaus berwarna hijau lumut dan celana jins belel.

Berbeda dari penampilannya yang lusuh, Gama punya otak yang cemerlang. Tak butuh waktu lama untuk membuat Mama akhirnya mempekerjakan Gama sebagai guru les privatku. Ia langsung jadi favorit Mama ketika berhasil membuatku masuk tiga besar di sekolah. kemampuannya memikat Mama tidak berhenti sampai disitu saja. Ia berhasil mengisi seluruh kamar kos baru di belakang rumah begitu bangunan itu jadi.

Bukan hanya Mama, aku juga dibuat terpesona olehnya. Setiap kali Mama atau Papa marah karena tingkah lakuku yang kadang tak sesuai ekspektasi mereka, Gama lah penghiburku. Dia mengisi sosok kakak lelaki yang selama ini aku inginkan. Rasa iriku pada Nita yang punya dua orang saudara laki-laki, dihilangkan karena kehadiran Gama.

Meskipun aku dan Mama begitu menyukai Gama, rasa suka Papa pada Gama ada di tingkat yang berbeda. Bukan karena Gama adalah bocah pintar dan pekerja keras, tapi Gama adalah obat rindu Papa pada almarhum kakak lelakiku yang meninggal saat usiaku masih dua tahun yang kemudian jadi pengganti almarhum Mas Vino. Anak lelaki Papa yang meninggal karena pandemi saat usianya masih sembilan tahun.

Sejarah-sejarah hidup Gama mulai diuraikan Mama ketika ia wisuda. Kedua orang tuanya bercerai. Selang beberapa tahun kemudian, saat mereka akan rujuk, orang tua Gama meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, sehari setelah Gama diterima di salah satu universitas di sini. Sementara Gama dibesarkan oleh kakek nenek dari keluarga ibunya, adik lelakinya diasuh oleh keluarga besar dari ayahnya. Sejarah itu yang membuat keluargaku seakan terikat dengan Gama.

Dari yang awalnya hanya remaja asing yang menempati kamar di lantai dua, kemudian jadi guru les privat untuk putrinya, menjadi anggota keluarga. Saudara, kakak lelaki, dan seorang putra. Hubungan itu tak pernah berhenti bahkan setelah Gama bekerja. Gama selalu hadir di acara penting keluarga. Sebagai putra tertua Mama. Sebagai kakak lelaki yang bisa membuatku iri setengah mati karena Mama lebih sayang padanya, sebagai putra pengganti untuk Papa, dan sebagai keluarga yang akan kubela dari gangguan siapapun.

Kami tumbuh seperti kakak adik pada umumnya, dengan catatan kecil bahwa Gama banyak mengalah padaku dan dia begitu menurut pada Mama. Sejak aku berusia tujuh tahun sampai jadi gadis remaja, tak ada yang kututupi dari Gama. Apalagi perkara uang. Tak ada perasaan malu-malu kucing tiap kali mendapat uang saku atau hadiah dari Gama. Karena Gama memang selalu terlihat seperti kakak lelaki bagiku. Gama adalah salah satu dari beberapa orang yang bisa membuatku merinding jijik kalau sampai aku dan dia terhubung dengan jalinan romansa.

"Bisa-bisanya Mas Gama bilang kita nggak saudara!" pelototku kesal. Kami masih berada di kasur latex Gama dengan diriku tengah melipat tangan di dada. Bentuk dari kekesalan karena tak diakui Gama sebagai adik.

"Kamu bilangnya kita inses. Disebut inses karena ada hubungan darah, Pan."

Pintarnya Gama selalu dipakai pada waktu dan tempat yang salah.

"Terus gimana aku terima laptop mahal ini kalau kita nggak kakak beradik, Mas!" seruku.

"Anggap saja karena kamu anaknya Ibu Rosalia," jawabnya, "Mama banyak bantu Mas dari sejak awal di sini sampai sekarang. Dia yang paling sering ingetin gaji dan bonus Mas harus diinvestasikan. Jadi kos-kosan di Pulau Jawa."

The Fool who Rocked my WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang