XVII

8.9K 1.9K 292
                                    

Selamat membaca😉

==

Begitu Nita pamit pulang, aku langsung meninggalkan tempat tidur. menyahut jaket sekenanya sambil menyalakan ponsel menuju ke mobil.

"Loh, loh, loh," Mama yang melihatku sudah bergerak cekatan, langsung panik, "mau ke mana, Nda? Maghrib gini?"

"Ke rumah Mas Gama."

"Masih sakit. Nanti tambah sakit loh kamu. Belum lagi kalau flu kamu nularin Gama."

Cegatan Mama langsung usai begitu aku memasang wajah kesal seakan tengah mengancam Mama kalau aku bakal membuat Gama benar-benar kena flu.

"Mas Gama?" tanyaku begitu sambungan telepon kami terhubung. Aku sudah meninggalkan halaman rumah bersama citycar-ku menuju rumah Gama yang jaraknya hanya sepuluh menit dengan mobil.

"Kenapa, Pan?" sahutnya dari seberang.

"Aku ke rumah Mas Gama sekarang."

"Udah sembuh memangnya?"

"Mas Gama udah pulang, 'kan?" belum juga dijawab, aku berkata lagi, "Bilangin ke satpam yang jaga gerbang perumahan Mas Gama, calon istri Mas datang."

Aku mendadak kesal membayangkan kalau harus menunggu di depan gerbang masuk hanya karena tak dikenali sebagai kerabat dekat Gama.

"Kamu istirahat saja, biar Mas yang ke rumah."

"Udah di jalan ini. Lima menit lagi sampai."

Mobilku memelan ketika mendekati gerbang ke perumahan yang dijaga para satpam. Membuka kaca jendela sekaligus kunci pada pintu. Kalau-kalau aku harus menjelaskan panjang lebar pada satpam bahwa aku harus menemui Gama. Akan tetapi semua itu tidak terjadi karena pembatas pintu langsung dibuka dan satpam menyapa ramah padaku.

Mungkin sudah mulai hapal padaku.

"Mas Gama harus nolongin aku," begitu kataku saat sudah keluar dari mobil dan masuk ke halaman rumah Gama, disambut pria yang telah berusia 34 tahun itu di depan pintu.

Gama mengenakan celana pendek dan kaus berwarna biru tua. Kedua tangannya masuk di saku, dan entah kenapa wajahnya hari ini tampak lebih berantakan dari biasanya. Rambut-rambut halus di mukanya dibiarkan tumbuh dan aku merasa rambut ikalnya memanjang sepuluh senti dalam waktu semalam. Dia terlihat jauh lebih lusuh daripada hari-hari sebelumnya.

"Nolongin apa?" tanyanya mengekoriku masuk ke rumah dua lantainya yang mahal.

"Mas Gama harus pura-pura jadi pacar Vanda."

Ia melihatku dengan kebingungan, "Bukannya kemarin bilang sudah ada calon pacar? Mantan si Nita."

"Nggak jadi sama dia."

Bukannya berbela sungkawa, Gama malah terbahak-bahak. Menertawai keterpurukanku.

"Kenapa nggak jadi? Dia naksir cewek lagi? Udah bosen sama kamu?" tanyanya beruntun di belakangku.

Aku mengempaskan tubuhku ke sofabed kemudian memandangi Gama.

"Apa?" tanyanya bingung saat aku melihatnya lurus.

"Kapan belinya ini?" aku menepuk sofa yang kududuki, "Empuk banget ini."

"Masih sempat-sempatnya sih, Pan, lihat ada barang baru di rumah ini. Empat hari yang lalu," jelasnya lalu duduk di sampingku, "jadi mantan calon pacar kamu kenapa?"

"Nggak jadi sama dia, Nita tadi nangis-nangis pengen balik sama dia."

Tawa Gama kembali membahana. Seakan hidup tragisku adalah sebuah lelucon untuknya. Khas kakak lelaki pada umumnya, mereka akan dengan suka cita terbahak-bahak kalau adiknya kena sial pun juga Gama.

The Fool who Rocked my WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang