Hai geng, mau ngasih tahu sebelum klean baca bab ini. POV Gama ada di karyakarsa ya. Totalnya 12 bab, sama kek bonus versi buku.
Anyway, selamat membaca❤️
==
"Gimana new office?" tanya suara dari seberang begitu sambungan kami terhubung. Bian menghubungiku di hari senin pertama kerjaku di kantor baru. Menelepon tepat pukul satu siang.
"Positifnya apa negatifnya nih?" tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari daftar barang yang sedang kubaca.
"Negatifnya gue rasa udah tahu because now, Mbak Isa ada di sini dan sejak tadi mohon-mohon biar gue telepon lo..., aduh, sakit Mbak Isa."
"Sampaikan salam gue, gue nggak akan bicara sama dia selama sepuluh tahun lamanya."
"Tuh, dengerin Mbak." Bian bicara pada Isa, menandakan bahwa telepon kami sedang di loudspeaker. "Galen ruin your days yang seharusnya tenang ya?" tanya Bian kembali berkonsentrasi padaku.
"Apa hari ini harus bahas Galen?" tanyaku dengan bebas menyebut namanya. Sejak sejam lalu dia pergi bersama Pak Fajar. Mengecek lantai tiga tempat beberapa ruangan rapat berada.
Persiapan gedung kantor baru sudah sembilan puluh persen. Semua kebutuhan kantor sudah siap. Barang-barang sudah mengisi setiap lantai. Bahkan ada banyak gerai makanan di lobi masuk yang beberapa sebagian bahkan sudah buka. Yang paling megah adalah gerai kopi lokal yang memang milik salah satu mantu dari pemilik perusahaan tempatku mengais rupiah.
"Nda," suara Isa terdengar, "lo pengen dibawain apa dari sini? Gue bawain apapun yang lo request."
"Bi, lo tahu nggak," aku sengaja tak menyahut tawaran Isa, mengibarkan bendera perang, "masa ya, restoran pizza yang paling dekat dari sini makan waktu tiga puluh menit."
Curahan hatiku ditanggapi gelak tawa Bian. Menertawakan Isa yang tak kurespon.
"Gue bawain pizza nanti kalau sudah ada di sana," sahut Isa.
"Meskipun makan waktu lama, tingkat macetnya nggak separah di kantor lama sih. Sayang, karena jarak tempuhnya jauh, pizza nggak bisa diantar ojek online sampai sini."
Sejak semalam rasanya hidupku penuh kegetiran. Tak hanya karena kemunculan Galen yang tanpa pemberitahuan, tetapi banyak kesialan yang muncul dalam tempo satu hari. Gama yang memutuskan persaudaraan, Gama yang menyuruhku untuk mempertimbangkan Galen, ditambah lagi restoran pizza yang jauh dan tak melayani pesan antar di ojek daring.
"Maybe, Tuhan memang mau lo selesein masalah yang lo bikin," sahut Bian yang telah berhenti tertawa.
"Lo jadi kedengeran kayak Mas Gama, Bi."
"Kenapa? Pak Gama juga suruh lo selesein masalah kalian berdua?" Isa yang menyahut.
"Kalian nggak bakal nyangka apa yang terjadi sama kehidupan gue selama akhir pekan kemarin."
Aku menceritakan perdebatan Gama dan Galen yang kudengar secara tak sengaja. mengungkapkan apa yang kurasakan pada Galen begitu mendengar kemarahannya hari itu.
"Gue, pengen belain Galen meskipun sebelumnya gue benci banget sama adik Mas Gama," ceritaku, "padahal gue adalah orang yang bakal maju paling depan kalau ada orang yang dengan berani menganiaya Mas Gama."
"Karena mungkin lo masih cinta dia," Isa lagi yang menjawab.
"Tapi," cegahku sebelum dua orang itu berpikir terlalu jauh, "pas gue teleponan sama Mas Gama kemarin siang, gue pindah sekutu." Aku kemudian menceritakan kejadian dengan Galen dan acara berteleponku dengan Gama sedetail-detailnya.
"Gue mendadak merasa nggak cuman plin-plan. Pikiran gue jadi membenarkan tuduhan Mas Gama kalau gue ternyata seorang people pleaser," ungkapku mengakhiri cerita.
"Kalau menurut gue, lo bukan people pleaser sih, Nda," Isa menyahut.
Akan tetapi, Bian berpendapat lain, "One hundred percent agree sih sama Pak Gama. Lo nggak cuman plin-plan tapi lo seakan have responsibility atas semua kebahagiaan orang-orang di sekitar lo. Kalau udah nggak mampu, lo running away. Kayak sekarang ini."
"Dia tuh cuman plin-plan doang, Bi. Galau gara-gara perasaannya terbagi dua. Antara adik dan kakak. Antara Galen dan Pak Gama."
"Hah? What do you mean, Mbak?"
"Beberapa hari terakhir ini, dia kan tergoda sama Pak Gama." penjelasan menggebu Isa diakhiri dengan kekagetan spontan. Isa seakan tak menyangka akan membocorkan rahasia lagi. Ia kemudian tak berhenti minta maaf dari seberang.
"Mbak, lo kayaknya butuh lem paling kuat buat nambal mulut lo yang bocor."
"So, mulai lihat Pak Gama sebagai pria? Nggak kelihatan lagi kayak brother?" tanya Bian yang mendadak terdengar bahagia. Dia adalah pendukung Gama nomor satu. Apakah aku akan terdengar kejam kalau kuceritakan bahwa Gama kencan dengan Inez seminggu lalu?
"Gue jelasin dulu," kataku sebelum semuanya jadi spekulasi tak terkendali, "itu hanya debaran beberapa kali doang. Nggak seserius dugaan kalian. Perasaan gue ke Mas Gama sudah jelas sejak seminggu lalu. Gue sudah yakin seratus sepuluh persen kalau memang kita hanya saudara. Kalau gue ada perasaan ke Mas Gama lebih dari saudara, gue bakal sedih pas dia akhirnya kencan sama Inez akhir pekan kemarin."
"Weekend pas lo pindahan?" Bian bertanya.
"Iya." Aku mengangguk penuh kemantapan meskipun keduanya tak bisa melihat. "Gue berangkat tanpa kesedihan dan duka lara."
"Tapi sebagai pendukung Pak Gama garis keras, lo nggak pengen tell your story gimana asal mulanya tumbuh debar-debar lain di dada buat Pak Gama?"
"Karena lihat Pak Gama mirip Galen. Jadi dia berdebar-debar." Isa yang menyahut. Bercerita berdasarkan apa yang ia dengar beberapa hari lalu.
"Jadi, gue harus balik lagi dukung lo sama Galen?" tanya Isa dari seberang.
"Nggak usah dukung gue sama Galen."
"Jadi, sama Pak Gama?" Bian memaksa.
"Mas Gama sudah sama Inez, ya Allah, tolong!"
"Lagian, susah ngalahin Inez. Sekali dia menentukan target, semua akan jadi miliknya," sahut Isa seakan mengenal Inez luar dalam.
"Intinya, ada atau nggak ada Inez, perasaan gue ke Mas Gama nggak akan tergoyahkan sebagai kakak adik," kataku percaya diri tentang hubungan kami.
==
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fool who Rocked my World
ChickLitKadang kala, tokoh utama dalam kehidupan kita hadir di saat paling tak terduga. *** Vanda dimintai tolong sahabatnya, Annita, untuk mengawasi Galen -pacar Nita- yang adalah teman satu divisi di kantor tempat Vanda bekerja. Sayangnya, tugas itu jadi...