Gunawan--lelaki cuek, namun hangat dipertemukan dengan gadis cantik yang energik--Rara. Seperti dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi melengkapi. Sifat keduanya yang bertolak belakang justru membuat mereka semakin dekat. Rara menilai Gunawan adala...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sinopsis
Aku mengerjap, setetes cairan bening jatuh dari sudut mata. Memandang kaki yang tergantung saat duduk di ranjang pesakitan, tangan kiri masih di gips. Berpikir bahwa telah menghancurkan segala harapan orang tua, kondisi ini membuatku bagai anak yang tidak berguna. Aku menggigit bibir agar tidak terisak.
Ketukan di pintu membuatku menoleh, dengan cepat menghapus air mata dengan punggung tangan. Mencoba terlihat baik-baik saja, walau bibir masih bergetar. Melihat seseorang muncul dari pintu, membuatku tersenyum tipis.
Ada yang ngilu di dalam sini saat memandang wajah lelah Mama. Itu karena menjagaku.
"Nunggu Bapak dulu, yah." Mama duduk di samping, mengusap bahuku dengan lembut.
Hening. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Aku ataupun Mama tidak ada yang mulai bicara, apalagi ada rasa takut akan menangis kembali saat mulut ini bersua.
Pintu baru saja terbuka menampilkan sosok Bapak, beliau menghampiri kami yang masih membisu.
"Ayo," ajak Bapak melingkarkan lengannya pada bahuku.
Aku bergeming.
"Gimana caranya Arin jalan, Pak?" Aku tatap kedua mata Bapak dengan pandangan yang sudah buram. Sekali saja mengedipkan mata, maka semua akan tumpah. "Kaki Arin nggak bisa jalan, sedangkan kedua tangan patah. Terus cara Arin melangkah gimana?" Bendungan yang tadi coba kutahan akhirnya berhasil menerobos pertahanan.
Aku menunduk kembali dengan air mata jatuh satu per satu. Tidak tahu bagaimana ekspresi Bapak dan Mama. Andai tangan sebelahku bisa bergerak, tongkat yang sudah tersedia mungkin akan berguna. Namun, sesuatu yang dipakai untuk melangkah maju, kini tidak bisa kugerakkan lagi.
Akulah si sulung yang telah mematahkan harapan orang tua. Kecelakaan yang aku alami membuat semuanya hancur. Tidak mampukah bahuku untuk mewujudkan harapan orang tua, bahkan diri sendiri? Rencana yang tersusun rapih, harus melebur begitu saja. Kuliah, pekerjaan, dan membantu membiayai pendidikan adik, bagaimana aku mewujudkannya?
Hey... Aku ini si sulung yang sudah tumbuh dewasa. Namun, kenapa diperlakukan seperti balita? Bukan hanya tidak berguna, tapi kini hidupku hanya menjadi beban dan benalu.
Setiap detiknya aku menjalani hidup tanpa tujuan. Segumpal darah di dalam tubuh tak lagi bisa merasakan cinta. Bagai mati rasa. Harapan yang diperjuangkan hilang begitu saja. Hidup segan, mati mungkin lebih baik untukku. Dibandingkan menjadi Harapan yang berubah jadi benalu.
****
Assalamualaikum semuanya...
Maaf, yah, aku belum update untuk pemenang hati.
Aku mau promosi anak keduaku yang udah mulai p.o nih. Mungkin aja teman-teman semua ada yang minat dan bisa langsung hubungi aku yah di nomor yang sudah tertera di playfer.
Sambil nunggu YARA kedua lahir, kalian bisa peluk Dinamika Si Sulung dulu, nih....