Hai!
Jangan lupa vote kalau berkenan komen, xixi. Atau, follow akun ini!
~•~"Kan, ayah sudah berkali-kali katakan, jaga image, Andin. Jaga image! Apa kamu mau jadi badgril kayak almarhum ibu kamu?"
Aku berdecak. "Yah ...."
"Ayah tahu ayah sibuk kerja dan enggak sempat memantau kamu, tapi enggak gini juga!"
"Ayah ...."
"Kamu putri sekolah Andin! Putri sekolah seperti kamu itu harusnya anggun, baik hati, ramah, nyaman, cuek enggak pa-pa, tapi tahu situasi."
"Ck. Yaaaah!"
"Ini enggak! Kamu mulai seenaknya, ya, sekarang. Udah melawan ayah? Udah berani membangkang? Iya?"
"Ish! Bisa enggak, sih, kita ngobrol jangan aku yang hadap dinding?"
"Biarin aja kamu di pojok sana! Ketokin kepala kamu di dinding sebanyak tiga kali!"
Aku menoleh terkejut. "What the hell?"
Ayah menatapku tajam. "Cepat!"
"Yah, masalahnya yang mau diketok ke kepala itu dinding, Yah! Dinding!" Aku menatap Ayah hororr.
"Satu ... ayah hitung sampe tiga dan kamu harus cepat ketokin kepala kamu!"
"Tapi biar apa?"
"Dua ... biar peliharaan kamu itu rontok!"
"Tapi Andin enggak punya kutu!"
"Dua setengah ... kamu lupa apa aja yang kamu pelihara di otak kamu?"
"What?"
"Dua seperempat ... kamu, kan, melihara bego, tolol, goblok, bodoh, dodol dan sejenisnya."
"Hei? Ayah ngatain anak sendiri?" Rasanya aku ingin melempar sendal bulu-bulu ini untuk mengenai wajahnya.
"Tiga! Buruan ketok kepala kamu!"
"Tap--"
"Apa ayah yang ngetokin?"
"F*ck!" umpatku kemudian menunduk hingga dahiku menghantam dinding. Astaga, ini sakit!
"Sampai sepuluh!"
Ah, sialan! Apakah ia ingin dahiku merata? Sebenernya ini hukuman mendadak. Tadi saat aku turun dari kamar dan hendak membuat susu untuk menutup mata, Ayah mendatangiku sepulang dari luar, entah dari mana? Lalu ia mendorongku hingga berdiri menghadap pojok dinding dapur, setelahnya tidak memerbolehkanku menoleh ke belakang.
Makannya sejak tadi aku bosan menatap dinding. Bahkan sekarang aku malah menghantamkan dahi ke dinding sampai sepuluh kali. Dahiku mengernyit karena pening mulai mendera.
Spontan saja aku memijit pelipis lalu menatap Ayah bengis. Aku berjalan cepat mengambil gelas berisi susu coklat lalu meneguknya lumayan cepat.
"Kamu, ya, sudah memukul Andi. Mana di sekolah di saat banyak pasang mata melihat! Malu dong! Ayah tahu karena saat ayah lagi di kantor, kepala sekolah kamu menelepon dan mengatakan kamu memukul anak orang tanpa alasan."
Tuk! Aku meletakkan gelas secara kasar di pantry lalu berbalik badan. "Aku mukul Andi bukan tanpa alasan."
"Tapi guru itu melihat sendiri!"
Aku melangkah mendekatinya yang duduk di meja makan. "Mereka melihat bukan mengalami!"
"Jangan begini lagi. Perhatikan pendapat pandangan orang-orang sekitar kamu!"
"Oh, kenapa?"
"Biar enggak bikin ayah malu!"
"Terus apa lagi?"
"Image, kamu putri sekolah!"
"Apa lagi?" Aku berhenti melangkah seraya bersedekap dada. "Ayah, cuma mentingin perasaan orang, pandangan orang, pikiran orang, image-image-image aja teroos! Ayah, enggak mikirin perasaan aku yang ngalamin? Enggak mikirin aku yang tertekan batin? Enggak mikirin aku juga perlu ngeluarin uneg-uneg? Engg--"
"Kamu bisa sabar."
"Apa selama ini aku kelihatan marah-marah? Apa selama ini aku nuntut ini-itu? Apa selama ini aku nanges enggak dibeliin ini-itu? Apa aku protes waktu, Ayah, masukin aku ke sekolah yang bukan minatku? Apa aku protes waktu, Ayah, marah-marah enggak jelas sambil nuduh aku bunuh, Ibu? Apa aku pro--"
"Cukup Andin! Sud--"
"Aku juga berhak ngomong! Aku berhak ngeluarin uneg-uneg! Aku berhak nuntut! Aku berhak minta ini-itu! Ak--"
"Apa selama ini yang ayah kasih ke kamu kurang? Kamu yang kurang bersyukur jadi an--"
"Apa aku enggak berhak bilang keinginanku? Apa aku enggak berhak nun--"
"Jangan pot--"
"Aku berhak bahagia, Yah!" Air mataku jatuh membasahi pipi. Aku tidak tahan lagi, kedua pipiku terasa panas, bahkan sampai merambat ke mata. Napasku tercekat.
Aku mengusap air mata dengan kasar, menatap Ayah yang menatapku dingin. Pria empat puluh tahun itu bangkit berdiri, ia memasukkan kedua tangan ke saku celana.
"Jadi mau kamu apa? Bahagia sendiri sendangkan ayah enggak? Kamu bener-bener se-egois Sandra!" Ayah berdecih. "Oh, lupa, kamu, kan anaknya, pantesan sama persis. Oh, lupa lagi, aku yang buat kamu."
"Dan, Ayah, nyesel udah buat aku?" Suaraku serak. Sialan! Aku benci dia!
"Ayah nyesel ternyata buah hati yang kami urus dengan penuh materi, besarnya jadi enggak tahu diri!"
Dia melangkah pergi dari dapur. Seketika badanku lemas, bahuku merosot hingga membuatku terduduk di lantai keramik yang dingin.
Aku memang enggak tahu diri.
Harta bahkan tahta ia beri, tetapi aku masih kurang bersyukur.
Masalahnya ... aku haus akan kasih sayang seorang ibu. Dari mana aku mendapatkannya? Bagaimana kalau suatu hari nanti aku tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku?
Tidak! Aku tidak akan membiarkan anakku bernasib sama seperti ibunya. Lihat saja, akan kujamin, tidak hanya materi, kasih sayang orang tua akan ia dapatkan secara lengkap.
Lihatlah Ibu! Aku tidak se-egois dirimu, kan, yang meninggalkan anakmu ini tanpa penjelasan? Hanya Ibu yang egois, tidak denganku!
***
![](https://img.wattpad.com/cover/276716979-288-k62418.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Cowok Cupu ( On Going )
Teen Fiction~ROMANCE + COMEDY~ *** "Apa pun halangannya, cowok cupu kayak lo harus gue miliki. Kalau gue gagal, bakalan gue pake jalur pelet. Kenalin, Andin, jodoh lo." *** Semua bermula di saat Andin berusaha memecahkan rasa penasarannya dengan seorang cowok c...