ILYCC - 6b

41 4 0
                                    

Hai
Ketemu lagi, bosen enggak? ><
Enggaklah, masa' bosen, wkwk
~•~

Aku datang ke kelas dengan mood berantakan. Sudah 24 jam setelah aku dirawat di rumah sakit, tetapi aku masih tidak bisa melupakan ucapan Darman.

Bisa enggak, sih, enggak nyusahin orang tua?

Segitunya aku di matamu, Darman Maulana?

Kuhantamkan tas ke atas meja hingga menimbulkan suara gaduh yang tak terkira. Kutatap semua siswa yang ada di kelas dengan tajam.

"Ngapa?" tanyaku setengah membentak membuat beberapa siswa berbisik-bisik.

Aku memilih pergi dari sini sebelum bel masuk berbunyi. Mungkin mengunjungi mangsaku lebih baik.

Seketika aku teringat Andi dan itu membuat senyum miring tercipta di wajahku.

Kebetulan sekali, aku melihat cowok itu duduk sendirian di tangga kelasnya. Aku mempercepat langkah lalu mengambil duduk di sampingnya.

Dia bergerak tanpa mau melirikku. Aku tersenyum merasa tertantang. Dia bergeser agak menjauh dariku, buku di pangkuannya tidak berpindah sama sekali.

Aku ikut bergeser hingga sisian tubuh kami menempel. Ia berdiri dan aku mengikutinya, dia tinggi sekali. Aku saja hanya setinggi dagunya.

"Berhenti ngikutin saya," ucapnya pelan dengan langkah yang semakin cepat dan pandangan menuju lantai.

"Lo ngomong sama lantai?" Aku terkekeh tanpa mau berniat berhenti. Ah, langkahnya lebar sekali.

"Sama kamu."

"Tapi gue bukan lantai."

Dia berhenti mendadak membuatku yang berada di belakangnya refleks menabrak punggungnya. Aku tersenyum miring ketika mendapatkan ide. Dia berbalik badan dan aku memeluknya dengan erat.

Hum, wangi, nyaman rasanya aku ingin mengusel-nguselkan pipi di dadanya.

Namun, sayangnya itu tidak berlangsung lama karena dengan sekuat tenaga tangan kiri yang menyilang di depan dadanya itu mendorong bahuku. Ck!

Aku melepas pelukan dan menatapnya jengkel. Dia masih menunduk, melirikku sekilas, sejenak aku sempat terpana melihat tatapan tajamnya. Wow?

"Hari pertama, kamu kayak nguntitin saya, hari kedua hampir mencelakai saya, hari ketiga kamu mukul saya dan sekarang kamu melecehkan saya? Mau kamu apa?"

"Ya ampun Andi! Jangan lebay, gue cuma meluk! Lagian lo enggak bakal hamil cuma gue peluk!"

"Kita bukan mahram, jangan sentuh-sentuh! Dengan kamu meluk namanya zina! Zina itu pelecehan! Apa mau kamu seb--"

Bugh!

Aku tidak tahan lagi dengan mulut sok sucinya itu! Setelah puas kupukul dengan sekuat tenaga wajahnya, aku langsung pergi.

Kulirik sekelilingku yang seketika menjadi heboh. Berbondong-bondong siswa datang menghampiri Andi, sebagian siswa yang melewatiku melirik sinis, kubalas lirikan mereka tak kalah sinisnya.

Apa kalian semua?! Berani padaku? Ayo, maju! Aku tidak tak--

Puk!

Mataku melotot dengan erang tertahan, sepatu seseorang melayang menghantam wajahku. Kedua tanganku terkepal menatap seorang cewek di depanku.

"Andin!"

"Apa, Sar?" bentakku murka. Kenapa setiap aku menyakiti Andi, dia selalu menghajarku di waktu yang sama? Aku heran, sangat heran, apa tujuan dia melakukannya?

Dia memegang kedua bahuku lalu mengguncang-guncangnya membuat pandanganku menjadi abstrak, segera kutempis dan mengangkat satu alis.

"Udah berapa kali lo gue bilangin? Jangan macam-macam sama Andi!" teriaknya.

"Kenapa?" tanyaku balas berteriak.

"Andin!"

Aku tersenyum miring. "Kenapa?"

"Karena Andi sepup--"

"Bang**t sepupuan! Dia sendiri ngakunya lo bukan sepupu dia anj***!"

"Dan lo percaya?"

"Gue lebih percaya sama cowok cupu itu dibandingkan sahabat ta* kayak lo!" ucapku sarkas dengan penuh tekanan.

"Bang*** lo, Ndin."

"Lo yang bang***! Asal lo tahu, gue nyesel kemaren udah bela-belain lo di depan ayah gue! Asal lo tahu, gue nyesel punya sahabat mata duitan kayak lo! Asal lo tahu, gue nyesel percaya sama lo! Dan asal lo tahu, Sarah Velonia ..." Aku mendekat dan berbisik, "lo itu punya keinginan ngelindungi Andi karena lo bukan nganggep dia saudara, tapi lo mengharapkan lebih. True or no?"

"Perlu lo inget, Ndin. Setiap luka fisik yang lo kasih ke Andi, gue bakalan maju paling depan dan nganggep lo bukan siapa-siapa."

Aku dapat melihat rautnya menegang, hal itu membuat senyum miringku terbit. Aku menjauhkan diri, menunduk dan menendang sepatu itu ke arah kiri dengan kuat hingga benda itu masuk ke got.

"Ups! Kaki gue kepeleset!" Aku pura-pura terkejut saat sepatu Sarah sudah tenggelam di air hitam itu. Berani melawan? Aku tahu harga sepatu itu jutaan karena sepatu itu aku yang membelikannya dulu.

***

I Love You, Cowok Cupu ( On Going ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang