ILYCC - 7b

44 4 0
                                    

Hai
Apa kabar?
Semoga betah yaa
~•~

"Yah! Buka pintunya!" pekikku seraya menggedor-gedor pintu, tetapi tidak ada respon yang kudapat.

Aku panik, sangat panik karena terdengar gaduh di luar kamarku lalu terdengar juga tetangga mulai berdatangan.

Aku takut ....

Aku takut ayahku mati di tangan geng Alver. Kalau dia mati, siapa yang akan memberikan semua kebutuhan hidupku? Kalau aku menjadi anak jalanan bagaimana? Argh, enggak!

Bugh!

Prang!

Aku meringis saat tanganku menghantam pintu dan berusaha mendobraknya malah tanganku salah sasaran sehingga lampu di atas meja belajarlah yang terkena.

Lampunya pecah dan berserakan di lantai. Suara gaduh di luar sana semakin menjadi.

Aku mondar-mandir, gedar-gedor, koar-koar sampai suaraku hilang pun tetap tidak mendapatkan respon.

Andaikan saja aku ini peri, pasti buat nyelip ke ventilasi pintu itu muat.

Aku duduk di pinggir ranjang, menunduk dalam saat suara gaduh tidak lagi terdengar, tetapi terdengar langkah kaki yang mendekati kamarku.

Brak!

Seketika aku mengangkat wajah dan melotot. Di sana, ayahku sudah lembam-lembam dan tampak dirangkul dua orang sedangkan satu orangnya berada di depan.

Tiga orang yang kuduga adalah geng Alver itu memakai jaket kulit berwarna coklat tua.

Aku berdiri dan berlari hendak melepaskan ayahku, tetapi cowok yang sempat membuatku drop kemarin menangkap lengan kananku. Ah, sialan!

"Lepas!" Aku berontak, menatap ayahku iba. Kutatap si ketua geng itu tajam. "Lepas set*n! Tuli lo?"

Dia terkekeh. Apa yang lucu kampr**? Bukannya melepaskan cekalan dia malah menarikku ke dekat ranjang lalu mendorongku hingga tubuhku ambruk.

Saat aku ingin bangkit, dia langsung menindihku. Aku melotot, sekuat tenaga tanganku memukul dan mencoba melepaskan diri, tetapi gagal.

Dia malah meraih tanganku lalu menekannya di atas ranjang hingga mengunci pergerakan tanganku.

"Jangan apa-apakan anak saya! Uhuk!" Suara Ayah terdengar sangat lemah. "Mampus kamu saya buat nan--uhuk--ti!"

Si ketua geng itu tersenyum miring, dia memandang wajahku dengan lekat. Aku balas menatapnya sengit.

"Lepasin gue bang***!" ucapku tajam dan penuh tekanan.

"Enggak bakal sebelum lo penuhi janji lo."

Aku mendesah keras. Ya Tuhan, apalagi, sih? Kenapa juga aku membuat taruhan seperti itu kemarin? Kenapa aku bisa sok-sokan seperti itu kemarin? Huaaa!

Aku menatapnya dengan pasrah. Oke, tidak boleh melanggar janji. "Yaudah, gue kasih dua permintaan."

Alisnya hampir menyatu. "Dua? Gue mau empat."

"Lah bujuk! Gue maunya dua, mau apa lo?" Nada suaraku seketika naik satu oktaf. Nih anak dikasih hati minta jantung. Jarang-jarang gue kasih dua permintaan sama orang asing, harusnya dia ngerasa beruntung dong karena aku berbaik hati memberinya dua permintaan.

"Empat permintaan atau ...."

"Andin! Lawan! Jangan dia--"

Bugh!

Aku tersentak, memberontak saat kudengar Ayah dipukul sampai membabi-buta oleh anak buahnya.

"Argh! Stop! Oke, deal! Empat permintaan!" ucapku pasrah dengan napas terengah, "tapi lepasin Ayah!"

Dia tersenyum, menoleh ke belakang dan menyuruh anak buahnya untuk berhenti memukul, tetapi tidak menyuruh mereka untuk melepaskan rangkulan mereka.

Ia menatapku lagi.

"Kenapa enggak lo lep--"

"Gue bakal lepasin kalian setelah permintaan pertama dan kedua gue terpenuhi."

Aku menyipitkan mata. Sialan! Aku mendengus kasar. Wajahnya yang berjarak sekitar tiga jengkal dari wajahku membuat gejolak di perut terasa. Plastik mana plastik?

"Yaudah apa?" Apa pun itu asalkan jangan ajak aku pacaran! Hu hu hu, aku benar-benar tidak mau pacaran dengan dia, kalau dengan Andi, sih, aku pasti mau.

"Permintaan pertama. Lo harus nurutin apa mau gue di sekolah."

Aku menatapnya protes. "What? Gue jadi babu dong?"

Dia menggidikkan bahu. "Semacam itu."

"Ah, enggak-enggak! Eng--"

"Ingat perjanjian!"

Aku jadi menyesal, kenapa sejak awal aku tidak bilang bahwa perjanjian hanya boleh satu saja?

"Ya--ya--yaudah! Yang kedua apa?" Aku cemas, bagaimana kalau dia minta yang aneh-aneh?

"Yang kedua. Lo harus biayain sekolah gue."

"What? Gue bukan emak lo! Lo juga bukan anak gue! Sekolah itu tanggung jawab orang tua lo, mereka menyekolahkan lo karena mereka mampu biayain." Wah, esmosi juga aku.

Dia menatapku tajam bak elang. "Nolak, ayah lo telak."

Sialan, ancaman yang ampuh! Ke mana juga tetangga-tetanggaku yang tadi datang kemari? Apakah mereka langsung kabur setelah tahu siapa yang mengusik rumahku?

Aku menggeram. "Oke!"

"Janji?"

"Demi Tuhan. Puas lo?" Aku merotasi bola mata mendapati senyum seringainya.

Dia melepaskan cekalannya dan langsung bangkit berdiri. Aku meringis mendapati pergelangan tanganku yang memerah, lalu menatapnya sengit.

"Sekarang pergi," usirku.

Dia menyisir rambut ke belakang menggunakan jari tangan kanannya. "Oke."

Si ketua geng itu menggidikkan dagu ke arah dua temannya sehingga ayahku dilepaskan dan aku langsung menghampirinya yang kini tersungkur di lantai tak berdaya.

Jangan mati, Yah!

Aku memangku kepala Ayah dengan pelan, ya, ampun, wajah ayahku rusak.

"Ingat, ya, di sekolah. Temui gue di kantin belakang, sendirian," ucap si ketua geng kemudian pintu tertutup dengan pelan.

Di saat itu aku mengembuskan napas berat. Kutatap Ayah yang memejamkan mata. Kutepuk-tepuk pelan wajahnya dan itu membuatnya meringis.

Aku langsung tersenyum lega. "Alhamdulillah, masih hidup kok."

Tangan kanan gemetar Ayah menyentil jidatku pelan. "Enggak ada akhlak," gumamnya.

***

I Love You, Cowok Cupu ( On Going ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang