Tangisan Malam

12 9 2
                                    

"Karena masalahmu, membuatku berusaha selalu ada di sampingmu."

***

Malam ini Rafsa berniat mengunjungi rumah Ayara. Tak lupa membawa martabak coklat keju kesukaanya, kata Nabila dan Amel. Rafsa ingin meminta maaf soal kejadian tadi dan memastikan keadaan Ayara baik-baik saja. Ia menghidupkan sepeda motornya, melajukannya membelah jalanan kota yang cukup macet malam ini karena malam minggu.  Rafsa menghentikan sepeda motornya saat lampu rambu-rambu lalu lintas di pertigaan berwarna merah yang menandakan berhenti. Di sebelah kiri terlihat ada mobil soprt milik Jojo yang membawa penumpang cewek di sebelahnya, ternyata Jojo tengah berkencan bersama Tiara. Jojo membuka kaca mobilnya, berniat menyapa Rafsa, tapi lampunya sudah berwarna hijau. Rafsa melaju begitu saja menuju rumah Ayara.

Sesampainya tiba di sana, Rafsa memarikrkan motornya di halaman rumah Ayara. Ia melangkah dengan menenteng kresek berwarna putih yang isinya martabak coklat keju. Langkah kaki Rafsa terhenti ketika mendengar keributan kecil yang bersumber dari dalam rumah. Kebetulan pintu rumah Ayara terbuka, dan pandangan mata Rafsa terjatuh pada sosok wanita berjilbab biru, tengah menangis di hadapan perempuan paru baya.

"Bund, aku tadi nggak sengaja jatuhin pigura ayah. Aku cuma berniat membersihknnya–—"

"Pembunuh tetaplah pembunuh!" suara Anggun meninggi naik satu oktaf.

"Aku nggak sengaja–—"

"Kamu pembunuh selamanya pembunuh. Pergi dari sini!"

"Ya Allah, Bunda." Ananta merangkul pundak Anggun.

"Dik, kamu keluar dulu, ya. Biar kakak yang menenagkan ibu." Ananta membawa Anggun ke kamar.

Ayara berjongkok memebersihkan serpihan kaca yang tidak sengaja dijatuhkannya. Jari-jemari Ayara tergores saat menyentuhnya, jari telunjukknya meneglurakan darah segar.

"Aww," ringis Ayara.

"Ayara, kamu kenapa?" Rafsa memegang jari Ayara, mengeluarkan sapu tangannya untuk mengusap darahnya. Kemudian menempelkan plester dengan hati-hati.

Ayara mendongak. "Ada perlu apa malam-malam ke rumah saya?"

"Aku hanya ingin berkunjung ke rumah kamu, tapi tidak sengaja mendengar pertengkaranmu tadi." Rafsa meniup-niup jari Ayara.

"Apa kakak mendegar dan melihat semuanya?" tanya Ayara was-was.

"Ya, aku tadi mendegarnya. Lalu, apa maksud perkataan yang mengatakan kamu seorang pembunuh?"

Ayara berdiri. "Lupakan semuanya. Anggap saja itu adalah mimpi buruk!"

"Apa maksud kamu, Ra?" Rafsa menyusul Ayara keluar.

"Tidak usah dibahas."

"Ra, tangisan malammu ini membuktikan bahwa kamu sedang tak baik-baik saja. Aku tahu kamu menyembunyikan masalah," ucap Rafsa khawatir.

Ayara mendaratkan pantatnya pada ayunan. "Yang punya masalah saya, bukan kak Rafsa!"

Semenjak kejadian siang tadi panggilan Rafsa ke Ayara berubah menjadi aku dan kamu. Tapi, bebeda halnya dengan Ayara yang masih terkesan formal.

"Kamu boleh berbohong pada dunia, tapi kamu tidak bisa membohongiku!" Rafsa ikut duduk di sebelah ayunan Ayara.

"Jangan ikut campur urusan saya!"

Rafsa tersenyum kecut. "Entah kenapa terbesit rasa kasihan padamu, Ra."

"Kamu tidak perlu merasa iba pada saya. Karena yang saya butuhkan adalah maaf dari bunda saya, bukan belas kasihamu!" suara Ayara begitu dingin.

"Aku hanya ingin menjadi bagian dari cerita hidupmu, Ayara Senja Aurora!" tatapan mata Rafsa begitu teduh.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Ayara. Ia memlilih diam tak merespon ucapan Rafsa. Cukup sudah luka Ayara tergores sangat dalam. Jangan sampai orang tahu jika ia tak pernah bahagia selama ini. Biarkan semua orang tertipu dan menganggap dirinya baik-baik saja. Yang jelas, luka ini akan tetap tersimpan rapat-rapat.

"Ra, semuanya bakal terbongkar. Sekuat apa pun kamu berusaha menutupinya, suatu saat aku akan mengetahuinya."

"Jika tujuan kakak ke sini hanya membuatkku bersedih, maka lebih baik pulanglah!" ucap Ayara terisak tangis.

Hati Rafsa perih mendegar nada bicara Ayara yang lemah. Ia tak sanggup melihat air mata Ayara terus mengalir. Rafsa semakin percaya jika ada masalah besar yang disembunyikan Ayara, tapi apa?

"Air matamu terlalu berharga. Kumohon jangan menangis!"

"Ayah," lirih Ayara.

Rafsa nampak bingung saat Ayara menyebut kata ayah, tapi kata Nabila dan Amel ayah Ayara sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu akibat kecelakaan. Kejadian itu membuat Ayara menjadi tertutup dan jarang tersenyum.

"Cerita sama aku, Ra. Memendam itu menyakitkan. Aku nggak mau kamu sakit lagi!"

"Jika saya meninggal, apakah bunda akan menangisi kepergian saya?" ucap Ayara tiba-tiba.

Rafsa tersentak dengan ucapan Ayara. "Seorang ibu akan merasa kehilangan anaknya ketika pergi selama-lamanya. Tidak akan ada ibu yang tega menyakiti anaknya."

Ayara tertawa hambar. "Tidak, semua itu tidak akan pernah terjadi pada saya."

"Argh, kenapa kamu jadi begini, Ra? Aku tidak paham dengan teka teki kami." Rafsa menjambak rambunya, frustrasi.

Belum sempat berucap, Ananta datang mendakap tubuh Ayara. Isak tangis Ayara membasahi baju Ananta. Rafsa yang melihat itu semakin tidak paham apa yang sebenarnya terjadi pada Ayara?

"Perkataan bunda jangan dimasukkan hati. Kamu kuat, kamu pasti bisa!" Ananta mengusap lembut punggung Ayara.

Tangis Ayara semakin kencang. "Aku capek, Kak."

"Permisi, Kak, sebenarnya apa yang terjadi?" Rafsa mencoba memberanikan diri menanyakan pada Ananta.

Ananta akhirnya mulai bercerita dari kejadian sepeuluh tahun yang lalu di mana awal kebencian Anggun di mulai. Ayara yang tak bersalah, menjadi pelampiasan Anggun setiap hari, seolah-olah kematian ayahnya adalah salah Ayara. Pernah pada suatu hari Anggun mencoba bunuh diri, tapi semua itu digagalkan oleh Ayar dan Ananta. Kebencian Anggun lama kelamaan semakin tertanam. Tidak ada kasih sayang untuk Ayara, hanya ada luka yang ditorehkannya. Tak terasa air mata Rafsa lolos begitu saja. Ia tak sanggup mendegar cerita hidup Ayara yang begitu menyedihkan. Namun, Rafsa salut dan bangga pada sosok Ayara yang kuat dan tegar melewati hari-harinya.

Kenapa cobaan ini harus menimpa kamu, Ra! Aku berjanji akan menjadi tempat pulangmu disaat kamu terluka!

"Apa kakak nggak mencoba buat bawa Tante Anggun ke psikolog?" usul Rafsa.

"Bunda tidak mau dan selalu menolaknya," jawab Ananta.

Rafsa memberikan martabak coklat keju pada Ananta. "Ini, Kak, buat Ayara sama kakak."

"Terima kasih, dan maaf telah menceritkan masalah ini yang seharusnya tak diceritakan ke orang lain." Ananta tersenyum kecut.

"Kak, Ayara kok diam, ya?" tanya Rafsa menatap Ayara diam tak bersuara dipelukan Ananta.

Ananta melihat Ayara yang tertidur pulas. "Lah, Ayaranya tidur."

Rafsa menahan tawanya, karena bisa-bisanya setelah drama menyedihkan tadi Ayara tertidur begitu saja. Gemas sekali Rafsa pada Ayara, tapi sayang ia cuek sekali anaknya.

"Bawa ke kamar aja, Kak. Kasihan Ayara kayaknya kecapekan banget." Rafsa mengamati wajah Ayara yang lucu saat tertidur. Terlihat sangat kalem dan tidak cuek.

Ananta nampak kesusahan untuk mengendong Ayara. "Raf, bisa minta tolong buat gendong Ayara ke kamar?"

"Bisa, Kak."

Semoga suka sama ceritanya!

Ruang Senja, 5 September 2021

Antarkan Aku Pulang (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang