BAB - 7
KOMATernyata Aina datang kerumah sakit bersama Bryan juga Dewi, entah kabar darimana mereka mengetahui kalau keluargaku sedang berduka.
"Ya Rabbi, Indah kenapa kamu tidak cerita kami?" tanya Bryan padaku.
Hanya diam yang aku suguhkan, aku tak tahu harus menjawab Bryan apa toh Bapak kemarin memang mendadak sakit setelah aku pulang sekolah. Bahkan hadiah kejuaraanku yang ingin kupersembahkan padanya belum sempat ia lihat, sekadar tanda tangan di raport-pun.
Kata Ibu, kemarin di sawah Bapak lagi menanam tembakau. Saat itu memang harga tembakau melunjak turun tak sebanding dengan harga sewa tanah, hal itu kemungkinan memicu darah tinggi. Padahal Bapak aslinya tidak memiliki riwayat penyakit darah tinggi, juga pas pingsan itu darahnya cuma mencapai 130 mmHg. Dilansir dari ilmu kesehatan bahwa darah tinggi seseorang di mulai dari darah di 130/80 mmHg atau lebih.
Kembali aku mengingat, beberapa hari lalu Bapak sempat berkata ingin berfoto denganku di hari raya namun belum kesampaian, sebab keburu aku sibuk tugas disekolah. Hari jatuh pinsan Bapak pada akhir bulan Juni 2019, tepatnya masih dua minggu setelah hari raya idul fitri 1441 H. Ya Allah, aku sangat merasa bersalah karena menolak keinginannya untuk berfoto denganku. Aku menangis kembali saat mengingat kejadian itu, Dewi didekatku menenangkanku.
"Sabar ndah,"
Aku juga mengingat, dua hari sebelum Bapak sakit dia berbicara ngelantur kepadaku. Saat malam-malam sembari terlentang menonton acara kuya-kuya di televisi, Bapak aneh saja berkata padaku mengenai kematian.
"Bapak kalau mati nanti dikubur di belakang rumah ya nak"
Hanya kata itu yang masih aku ingat, seperti bukan Bapak yang biasanya takut mati ehh tau-taunya bahas mengenai kematian. Bulu kuduk merinding, aku sempat punya fikiran kalau seseorang yang akan dijemput ajalnya 'meninggal' akan punya perasaan tanpa kita sadari. Hanya bisa dirasa oleh pemilik raganya sendiri, itu pepatah Jawa katakan.
Kita memang tidak boleh percaya akan hal seperti itu, namanya juga adat apalagi tinggal di tanah Jawa pasti ada sangkut-pautnya.
Lamunanku terbongkar saat pemuda berjas putih dengan stetoskop menggantung dilehernya menyuruhku untuk ke depan ruang tunggu informasi. Pak Dokter menceritakan mengenai kondisi Bapak yang semakin menurun.
Apalagi ditambah urine dan BAB yang tak bisa lancar. Bapak mengalami koma di ruangan itu."Ada dua kemungkinan dek, Bapak tidak diselamatkan dan satunya bisa hidup tapi tidak bisa normal kembali"
"Sarafnya sudah pecah, membuat sebagian tubuhnya yang kanan tidak berfungsi"
"Aku nggak mau Bapak meninggal dok, tolong sembuhkan Bapak saya hiks...hiks..."
Tak tahu malu memang, aku menangis dihadapan dokter. Tiada waktu tanpa menangis, selalu kuhabiskan waktu hanya dengan membuang air mata ini. Aku merasa tak berguna sebegitu rapuhnya diriku, apalagi mendengar gunjingan dari Bu Ruli dan sanak saudaranya tambah membuatku semakin sakit hati.
"Saya usahakan ya dek, adek tunggu disini dulu. Nanti ke ruang administrasi untuk dijelaskan lanjutnya"
"Iya dok"
🍁🍁🍁
Di rumah sakit tidak ada siapa-siapa lagi, hari sudah menyusut. Briyan, Dewi dan Aina Izin untuk berpulang, disini ada Mbak Deni yang kebetulan barusaja datang membantu aku. Sepertinya Mbak Deni bisa aku manfaatkan soalnya dia orang yang berpengalaman, kutawari dia untuk menginap di rumah sakit.
Akhirnya tinggal kami bertiga dirumah sakit. Aku, Ibu, dan Mbak Deni.
"Keluarga Pak Suyitno?"
Sebuah speaker microphone memanggil nama Bapak, sontak aku segera melangkah menghampiri suara tersebut berasal. Mbak Deni mengikutiku dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan November
RomanceIndah Permatasari, seorang gadis kelahiran bulan November. Ia adalah sosok perempuan yang mempunyai kesabaran diambang batas. Kehidupan memanglah berliku, banyak cobaan yang menghadang. Bahkan mengenai hubungan asmara dengan kekasihnya harus dipaksa...