13. Pingsan Di Sekolah

5 3 0
                                    

BAB - 13
PINGSAN DISEKOLAH

Aku tak tidur semalaman, mata kantuk. Padahal sekolah sudah jalan seperti biasa, aku malas berangkat tapi kalau aku tak berangkat aku capek mendengar ucapan gunjing dari sanak saudara Bapak.

"Hoaah...."
Menguap. Mataku hampir saja tak bisa melek, Ibu tidak masak hari ini karena diganggu Bapak yang tiap detik marah meminta ini itu. Ibu sudah menuruti apa mau Bapak, tapi selalu saja salah dimata Bapak.

"Kasurnya dipindah sana!!!" teriak Bapak dengan kerasnya, membuat Buk Ruli kembali datang memperusuh. Tapi kali ini tampilannya beda, dengan menggendong balita yang merupakan cucunya.

"YA AMPUN...! MASIH PAGI-PAGI TERIAK LIHAT CUCUKU SAMPAI GABISA TIDUR SEMALAMAN JUGA KARENA ADA ORANG TERIAK-TERIAK!"

"PAK YIT MINTA APA?"

"Ini lo! Kasurnya di pindah kesana, disini ada setan!"

"OALAH DIPINDAH YA? BENTAR YA PAK YIT BIAR TAK NARUH CUCUKU DULU!"

Ucap Buk Ruli dengan nada teramat lantang seakan memperdengarkan tetangga untuk memalukan Bapak, Buk Ruli seperti biasanya apa-apa perkataannya diturut Bapak. Padahal perkataan Bapak itu sedang merancau.

"DITARUH MANA PAK YIT KASURNYA?"
perjelasnya dengan nada lantang.

"SANA!" Bapak mempertunjuk dengan  sebelah tangan kiri, Bu Ruli menggeret  kasur kuning yang biasa dipakai bapak berbaring.

"BENAR TARUH SINI PAK YIT?"

Bapak mengganguk, Bu Ruli tersenyum nyelengit sinis matanya membelalak kepadaku.

"Itu lo Bapakmu diurus"

"Kasihan, dia udah ngelantur. Umurnya ga lama lagi!"

Astagfirullah, kesekian kalinya aku dibuat mengelus dada menyabarkan diri dari sifat Bapak dan juga Buk Ruli. Aku dipaksa menyeimbangkan wataknya, aku sudah capek dihantam.

Sangat menyakitkan perkataannya, Bapak memang sakit dan aku dan Ibu juga berusaha membantu pengobatan Bapak kesana-kemari untuk sembuh. Bapak memang sakit, tapi Bapak punya semangat untuk sembuh setidaknya jangan bilang tafsir kematian kepada Bapakku. Siapa sih anak yang seneng Bapaknya dikatain mati? Siapapun gaakan terima termasuk aku.

Kayak Buk Ruli aja yang ngatur kehidupan, sok-sokan tau Bapak mau mati. Menyepelekan Allah banget.

"BAPAKMU MAU MATI NDUK, AKU KEMAREN MALEM ABIS KE PAK KYAI NANYA. BAPAKMU KENA KARMA, DAN BENTAR LAGI KEKNYA MATI!"

Air mataku luruh, aku tak bisa membendung atas hujaman kasar Buk Ruli. Bisa-bisanya dia mengatakan itu padaku, manusia tak memiliki perasaa n.

Terlebih percaya ke sejenis kyai yang menyerupai dukun, subhanallah! Geleng-geleng kepala melihat kelakuan Buk Ruli. Ya Allah, tabahkan aku atas omong kosong Buk Ruli. Sadarkanlah Buk Ruli agar ia kembali ke jalan kebenaran. Aamiin.

🍁🍁🍁

Hari sudah siang, aku juga belum siap-siap untuk berangkat ke sekolah. Aku melirik jam dinding warna biru muda disebelah ranjang Bapak. Menunjukkan pukul 06.50, 10 menit lagi sekolah akan ditutup.

Aku malas ngapa-ngapain, pekerjaan rumah tugas dari Bu Istiqomah juga belum aku kerjakan pasti nanti aku akan dihukum atau tidak mendapatkan nilai. Aku berniat untuk bolos, tapi Ibu menyuruhku untuk berangkat ke sekolah. Menuntut ilmu.

Dengan terpaksa aku kesekolah, tak mandi. Wajahku kuyel, hanya cuci muka saja dan untungnya aku tak bau badan hanya kuolesi handbody plus minyak wangi pada tubuhku.

Sudah sekitaran 1 bulan semenjak hubunganku putus dengan Dendi aku tak lagi membawa ponselku ke sekolah, sudah jarang membawa dan main ponsel. Dan untuk saat ini kurasa aku benar-benar sudah melupakan Dendi. Tenyata mudah juga ya mencoba move on dengan memutuskan mencari tau tentang dia.

Tadi pagi aku juga sudah mengirim titipan surat tidak masuk sekolah ke Aina yang kebetulan rumah kami satu kompleks. Aku memang berniat tidak berangkat ke sekolah, berkat petitah Ibu membuatku kembali bersemangat.

"Assalammualaikum ya Pak, Indah berangkat dulu" aku menghampiri Bapak yang masih teriak-teriak disamping Ibu.

"Waalaikumussalam" jawab Bapak dengan senyum, seketika amarahnya menghilang. Bapak tak lagi berteriak-teriak, perasaan lega menyelimuti hatiku. Senang rasanya jika Bapak selalu sabar seperti ini.

Tapi kesabaran Bapak tak berlangsung lama ketika Bu Ruli kembali datang mengompori Bapak ini itu, aku tak menggubris. Sesegera aku mengstarter motor mengendari sekencangnya menuju ke sekolah.

"Ya Allah kenapa harus seperti ini, hiks ... hiks ..."

Dalam perjalanan menuju sekolah aku menangis menjadi, tak peduli beberapa orang menatapku aneh. Aku tak tahan, pertahanan hati selama ini kupendam tak bisa menampung belati sakit, aku sudah pasrah atas hidupku.

"Ndah!"

Teriak Briyan dari kejauhan saat aku memarkirkan motor didepan kantor. Aku telat, akan dihukum Pak Satpam. Sepertinya Bryan juga telat deh, dia terlihat ngos-ngosan dengan beberapa mili peluh keringat yang menetes di dahinya.

"Hai yan!" sapaku balik, aku berlari mendekati Bryan di depan gerbang.

"Kamu telat lagi Ndah?" tanyanya.

"Iya nih ehee, tumben kamu telat yan?"

"Ketularan kamu tuh Ndah! Eheee..." ucapnya cengingisan, tangan kananku refleks bercanda dengan menonjok perutnya namun ditampis.

"Eee... Iya iya Ndah, ini tadi kesiangan aku." jelasnya.

Kami kemudian berlari mengelilingi jalan sebanyak 2 kali, aslinya Briyan sudah pas tapi kebetulan ada aku katanya jadi sekalian nemenin.

Tapi emang benar si, kehadiran Briyan membuat cerah hariku kembali. Briyan juga yang bisa perlahan membuatku melupakan duka sakit hati akibat perbuatan Dendi. Tapi maaf ya Yan, aku cuman menggangapmu sebagai layak sahabat bukan lebih. Karena nyatanya, aku gatau untuk saat ini siapa pemilik hatiku. Hatiku berkata Dendi, tapi Allah berkehendak memisahkan sebelum kami menuai temu.

"Ndah, kamu udah putus sama Dendi kan?"

"Ha?"

Tiba-tiba Bryan seakan membaca pikiranku. Menyahut begitu saja apa yang aku pikirkan dalam hati.

"Maksutku kamu gak ada pengganti hati, selain Dendi?"

"Hmm... Nggak yan. Udah cukup dah,"

"Oh.."

"Kalau mau ya sama aku aja Ndah, aku gaakan sakitin hati kamu"

Ucap Bryan namun belum sempat aku balas sebab Pak Edi, Satpam barusaja memberi kode berhenti pada kami berdua. Mempersegerakan untuk masuk dan menuntun motor menuju parkiran didalam sekolahan.

Setelah memarkirkan sepeda, Aku dan Bryan tergopoh berlari menuju lapangan upacara bendera.

Upacara sudah dimulai sejak 15 menit lalu, dan pas aku berbaris dibelakang sudah sampai di amanat pembina upacara. Yang kebagian memberi amanat sekarang adalah Bapak Kepala Sekolah SMA Negeri 01 Wuluhan yang terkenal panjang lebar jika memberi amanat.

Ya seperti itulah, udara gerah ditambah cuaca extrem. Panas, banyak dari teman-teman yang pura pura sakit, pura-pura kebelet kencing, dan adapula yang pura-pura pingsan dan ada yang pingsan beneran.

Sudah cukup lama Pak Kepala Sekolah memberi ceramah, padahal bell sudah berbunyi seharusnya upacara bendera diakhiri. Lelah banget, dan rasanya mengantuk hampir saja aku tak bisa mengendalikan tubuhku. Aku merasa kedinginan menggigil, dan mataku cekot-cekot menjadi hijau hitam.

"Bruk!"
Pandanganku kabur, dan setelah itu aku tak tahu apa-apa. Aku pingsan!

"Indah!!!"

Bersambung.

Perempuan NovemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang