Tau 'kan, di tiap cerita pasti ada bagian kilas balik, alias flashback yang tertulis dengan huruf tercetak miring. Tapi untuk kali ini, terlalu miris rasanya, membuat gaya tulisan yang tercetak miring untuk mengingatkan rentetan kejadian sekian tahun yang lalu.
*****
Setelah lelah bergelut dengan susah payah untuk meraup oksigen, akhirnya Gamma melemaskan semua ototnya yang tegang berjam-jam. Rasa terbakar di tenggorokannya masih menyiksa, kalau boleh jujur. Tapi ia sudah tidak punya tenaga sama sekali untuk sekedar mengeluh. Pasrah, kali ini ia membiarkan kepalanya melipir menjajaki semua kenangan masa lalu yang selalu ia pendam.
Masih ingat betul, hari Senin tepatnya, ia sedang duduk di ruang tunggu bersama Bunda dengan Delta yang masih mengenakan baju sekolahnya. Kepala Gamma bersandar di lengan Bunda, sesekali Bunda mengusap punggung anak tengahnya. Sudah beberapa minggu ini paru-paru Gamma berulah dan semalam sudah cukup parah rengekan organ pernafasannya. Setelah berpikir panjang, akhirnya Bunda membawa Gamma ke klinik, dengan sisa uang tabungannya sendiri, tanpa sepengetahuan Ayah.
Mata Bunda menatap Delta lekat-lekat, anak kecil yang masih berbalut baju olahraga taman kanak-kanak itu sibuk dengan imajinasinya. Berulang kali ia menabrak-nabrakkan tangannya ke tembok, seolah ia sedang mengontrol dua buah mobil yang saling beradu.
"Bunda, kalo udah gede, nanti Delta beliin Bunda mobil." ujar Delta sembari tersenyum. "Segini." lanjutnya lagi memperlihatkan sepuluh jarinya.
Bunda hanya tersenyum dan mengangguk. Hatinya tengah berkecamuk, sejak seminggu lalu Bunda sudah berniat untuk pergi, mencoba mencari pelarian, sekalian mencari pundi-pundi pikirnya. Tapi hati kecilnya terus menerus menolak kala ia melihat tiga anak laki-lakinya yang masih dalam masa tumbuh kembang. Terlebih, Gamma yang sakit-sakitan dan Delta yang belum genap lima tahun.
"Bunda, liat, sebentar lagi Delta lebih tinggi dari Gamma." kembali Delta berceloteh.
"Eh, gak boleh gitu, gak sopan, Kakak Gamma ya manggilnya." ujar Bunda menegur si bungsu.
Delta memajukan bibirnya, "Tapi kan Delta udah mau tinggi."
Padahal jarak tinggi keduanya terpaut cukup jauh, hanya saja rambut Delta yang lebat menyebabkannya terlihat sedikit lebih tinggi.
"Masih tinggian aku." ujar Gamma serak. "Iya kan Bun?"
Pertanyaan Gamma menggantung, sebab namanya dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter. Setelah melalui beberapa rangkaian pemeriksaan, akhirnya Bunda dan kedua anaknya pulang ke rumah.
Keadaan rumah yang tidak jauh dari kata 'kapal pecah' membuat Bunda pusing tujuh keliling. Entah kenapa akhir-akhir ini tubuhnya terlalu cepat merasa lelah, selain fisiknya yang harus mengurus keluarga, kepalanya juga harus berpikir bagaimana caranya keluar dari masalah finansial selepas Ayah terkena PHK.
"Delta sama Kakak Gamma, Bunda mau tidur dulu ya, jangan berantem. Bantuin Bunda beresin rumah bisa kan? Nanti kalau mau makan ambil sendiri aja ya." ujar Bunda dengan wajahnya yang lelah.
Kedua anak lelakinya yang sedang sibuk menonton tv kompak mengangguk tanpa suara.
Begitu masuk kamar, Bunda merebahkan tubuhnya di lantai. Air matanya langsung meluruh, dadanya terasa penuh. Pikiran untuk pergi dari rumah berulang kali mampir di kepalanya. Bukan untuk melarikan diri dari tanggung jawabnya sebagai ibu dan juga istri, tapi sungguh ia tidak tega membiarkan keluarganya seperti sekarang.
Baru ia tinggal setengah jam, terdengar suara anak tengah dan bungsunya yang bertengkar di luar kamar. Bunda langsung menutup telinganya sambil terisak. Sudah ia bulatkan niatnya, malam ini ketika semua anggota keluarganya terlelap, ia akan pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skeletons
Cerita PendekThey said 'blood is thicker than water', but for us, the skeletons are stronger than diamond.