33. juna's side

645 131 81
                                    

"ARGH!"

Geraman itu terdengar saat Juna sudah puas mencekik Aluna dan tubuhnya ambruk disisi si perempuan. Juna betul menangis. Ngilu di tubuhnya, perasaannya saat tau Aluna mendua. Juna tidak senang dengan cemburu ini, dia tidak mau menyakiti Aluna, tapi dia melakukannya, dan selalu menyesali jika sudah.

"Anna kamu cuma punya aku! Kamu nggak boleh sama siapapun, kamu—"



Untuk beberapa saat, Juna membatu menatap. Matanya dia usap, air matanya dia hibas.

"Anna?"




Juna mematung, matanya melebar, jantungnya berdebar saat melihat tatapn kosong Aluna, wajahnya yang berantakan dan leher yang sangat merah.

"Anna? Sayang?" Juna menepuk-nepuk pipi Aluna tak karuan. "Sayang, bangun Anna?"

Tak ada pergerakan apa-apa dan Juna semakin menahan nafas.

"Damn it," umpatnya sebelum membenahi duduk, sebelum berusaha membangunkan si perempuan.

"Anna??" Juna menggoyangkan tubuh Aluna tak karuan, "Aluna jangan gini? Sayang? Bangun?" Tapi tetap tak berpengaruh apa-apa.

"ANNA!"

Juna kelabakan, dia sudah menangis saat memberi Aluna nafas buatan. Tak mau yakin pada kenyataan yang ada sekarang.


"Anna nggak lucu, bangun sekarang!!"




Juna kembali memberi nafas buatan dan menekan dadanya. Kemudian nadi Aluna dia pegang, tapi Juna tidak mau percaya. Detakan di dadanya juga Juna berusaha cari tapi tetap tidak ada.

"ALUNA!" Juna menggoyangkan tubuh Aluna lagi, matanya berkaca-kaca. Dia memberi nafas buatan lagi berharap terjadi suatu keajaiban. "Anna jangan becanda."

Tapi tetap tidak ada pergerakan apa-apa.

"ANJING BANGUN ALUNA!?"










Tidak berpengaruh apa-apa.

Juna, Alunamu sudah tidak ada.































Juna mundur, dia mundur dengan mata yang sudah berair, menatap tangannya sendiri tak percaya. "Nggak mungkin," katanya menggeleng tak percaya.

Juna menangis, "Nggak mungkin."

Dia mendekat, mengambil kepala Aluna, rambutnya disingkirkan hingga hanya menampilkan wajah cantik yang terbingkai rambut coklat dengan benerapa memar dan darah didahi. Juna menangis dengan segunung penyesalan yang teramat dalam.

"Anna, jangan gini. Bangun sayang, maafin aku."

Dengan penyesalan yang tak akan bisa mendapat penyelesaian.

"Anna..."

Karna sekarang yang tersisa hanya raga tak bernyawa, bukan Aluna yang bisa tersenyum dan memaafkannya lagi. Juna tidak ingin menerima fakta bahwa Aluna sudah tidak bernafas dan bahwa dia adalah pelakunya.

"... maafin aku."

Dia memeluk raga itu, terisak hebat, menggeleng kuat berharap ini tidak pernah terjadi, berharap perempuan itu akan membuka mata lagi, tersenyum padanya, menenangkan dia. Tapi pada kenyataannya tidak ada keajaiban apa-apa walau dia sudah menangis belasan menit lamanya.

Sampai kapanpun juga, Annanya pergi.

Adalah dia, penyebabnya sendiri.



















Stranger's Seat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang