(POV Amira)
Pemandangan langka yang menyejukkan mata. Sebuah ruang makan yang luas menjadi saksi bisu kebersamaan kami sekeluarga. Dentingan sendok terdengar seperti alunan irama yang menentramkan jiwa dan raga. Tak ada yang bersuara, semuanya sibuk menghabiskan makan malam yang tersedia.
Hatiku menghangat saat menatap wajah teduh Papa di hadapan. Aku dapat merasakan betapa letihnya dia ketika harus bekerja seharian di kantor. Tak jarang Papa selalu lembur di sana. Namun, diri ini tetap yakin jika semua yang dia lakukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan kami.
Aku menoleh perlahan. Memandangi Mama yang tengah fokus menuangkan air ke dalam gelas yang dia genggam. Hati kecilku berharap bisa memeluk hangat tubuh wanita yang telah rela mempertaruhkan nyawanya demi melahirkanku ke dunia. Mungkin bukan kini saatnya. Rasa lelah begitu terpancar di netra sipitnya.
"Mira, saya dengar ... nilai ulangan Matematika kamu paling besar di kelas. Benar?"
Aku tersedak. Perlahan mencoba menetralkan keadaan karena kerongkongan ini mulai terasa panas. Kedua mataku tertutup, menahan rasa sakit yang amat mendalam. Rasa perih kian menyelimuti diri. Tangan ini mulai meraba-raba meja di depan. Mencari keberadaan minuman yang sempat kuletakkan di samping piring tadi.
Tak ada, ke mana?
"Kak, pelan-pelan. Aduh, ini minum dulu."
Suara yang sangat familier di telinga. Refleks netraku terbuka dan langsung melihat siapa yang berbicara barusan. Mara, kembaranku itu menyodorkan segelas air di hadapan. Tanpa perlu basa-basi, segera kuhabiskan segelas air sejuk itu sebanyak tiga tegukan sembari menikmati usapan lembut di punggung.
Huh, akhirnya lega juga.
"Makasih, ya, Dek," ucapku seraya memintanya untuk duduk kembali di sebelah.
Mara mengangguk. Senyum lebar tercetak di bibirnya. "Sama-sama, Kak Mira," balasnya dengan sangat lembut.
"Kamu nggak papa, Mir?" tanya Papa saat pandangan kami bertemu.
Aku mengangguk. "Nggak papa, kok."
"Syukurlah," jawab Papa dan Mama bersamaan. Kompak sekali mereka malam ini.
"Pertanyaan saya sudah bisa dijawab, Mira?"
Suapan terakhir berhasil mendarat dengan baik ketika Mama mengeluarkan suara tegasnya. Hawa di ruang makan yang bersisian dengan dapur ini seketika menjadi panas. Jika sudah begini, aku harus memberitahukan yang sebenarnya. Padahal, aku sudah berjanji tidak akan membahas hal ini di depan mereka.
"Cepat jawab pertanyaan saya. Apa betul nilai Matematika kamu tertinggi di kelas?" tanya Mama lagi. Tak gencarnya meneror diri ini agar segera menjawab. Pasrah, mungkin ini jalannya.
Maafkan aku, Dek.
Aku menghela napas dan berujar, "I-iya, Ma."
"Bagus, pertahankan prestasinya. Lebih baik lagi jika terus ditingkatkan. Congratulations, Mira. Kamu buat saya dan Papa bangga."
Wanita paruh baya yang memakai setelah baju tidur berwarna cokelat muda itu perlahan mengitari meja makan berbahan kayu jati. Dia menghampiriku, lantas mendekap erat diri ini dari samping. Sungguh, nikmat yang tak bisa kujabarkan. Impian yang telah lama kudambakan kini terwujud dengan begitu mudahnya.
Terima kasih, Tuhan.
Dua menit telah berlalu, Mama kembali ke tempat duduk semula. Papa menjabat tanganku seraya mengucapkan selamat. Kebahagiaan singkat yang tak bisa kutemui di luar sana. Harta berlimpah pun tak mampu menandingi kenikmatannya.
YOU ARE READING
Tampik Tak Berkelik
Teen Fiction"Ma, aku harus setinggi apa lagi untuk muasin ego Mama? Jujur aja, aku capek harus selalu keliatan sempurna buat Mama sama Papa." "Ngelukis seolah jadi boomerang andalan Mama. Aku seolah harus selalu berada pada pijakan yang sama dengan Kakak. Apa...