(POV Amira)
"Wih, keren! Congrats, Zan. Kamu dapet juara satu Olimpiade Fisika tingkat kabupaten."
"Thanks. Lo juga keren."
Bulan sabit timbul di bibir hanya sebagai penghias kekecewaan. Tenaga serta waktu yang dikerahkan tak berbuah sesuai khayalan. Kenyataan dengan sengaja merenggut kebahagiaan yang diimpi-impikan.
Kecewa! Harapan musnah begitu saja. Lalu, apa yang harus aku katakan pada orang rumah, terutama ... Mama?
Menghela napas berat. Aroma kopi yang memenuhi mobil tak mampu membuatku berpikir dengan tenang. Hanya bermodalkan tatapan lurus ke depan. Berusaha menerawang tanggapan yang akan mereka berikan kelak.
Aku yakin pasti ....
"Kenapa belum dimakan, hm?"
Sontak aku menoleh. Memandang pahatan karya Tuhan yang nyaris sempurna. Kedua alisnya bertaut seiring melirik jalanan yang tak jarang ramai kendaraan.
Tak perlu menghitung menit, Faizan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Kembali memfokuskan atensinya pada diri ini yang tengah menikmati degupan jantung yang kian terasa. Aku langsung memutuskan kontak tatapan kami setelahnya.
"Mau sampe kapan ciloknya dimainin doang, Mir?"
Tak ada yang lebih selera dibanding cilok isi telur puyuh dengan bumbu kacang yang dibanjur di atasnya. Namun, kini semuanya berbeda. Rasanya, diri ini tak peduli dengan sebungkus makanan berbentuk bulat itu.
"Kamu mau?" tanyaku yang langsung dibalas anggukan cepat oleh lelaki itu.
Aku berdecak. Kalau mau, bilang. Nggak perlu pakai basa-basi segala. Pasti langsung aku berikan, kok.
Kuserahkan plastik berisi cilok itu pada Faizan. "Makasih, Mir." Lelaki berjas kulit cokelat tua itu menusukkan dasar cilok dengan tusukan bambu yang dipegangnya. Mengangkat camilan nikmat itu ke udara, sejajar dengan mulutnya. Mungkin biar lebih mudah saat dimakan.
Aku tak mengindahkan nyanyian para cacing yang meminta jatah makan sedari tadi. Belum ada asupan sedikit pun sejak kami selesai mengerjakan soal olimpiade. Terhitung sekitar enam jam, diri ini belum makan apa pun, termasuk minum.
Nafsu makan sudah hilang. Tergantikan dengan kebingungan. Membayangkan respons yang Mama berikan saat tahu aku kalah. Batin ini begitu tertekan seiring rasa pusing yang mulai mendera.
"Buka mulut lo. Nanti lo sakit, belum makan dari siang," titahnya lembut dan parahnya ... aku menurut. Fisik ini bagaikan robot yang tak akan membantah perintah tuannya.
Mengunyah dengan susah. Sebab, selera makan telah musnah. Perlu waktu lama untuk diri ini menelan camilan itu. Kemudian, aku mengambil botol minum yang disimpan di dalam tas dan segera meneguknya sebanyak tiga kali.
Spontan aku menggeleng dan berkata, "Nggak, saya udah kenyang."
"Lo baru makan setengah, Mira. Mana bisa bikin kenyang?" Perut ini rasanya menolak. Tak ingin kembali mengisinya dengan apa pun.
"Lo mau makan apa? Bilang sama gue. Nasgor? Kwetiau? Bubur ayam? Bubur kacang ijo? Nasi padang? Seblak? Oh, atau lo mau risol buatan ibu gue yang tadi pagi?"
Aku mengernyitkan dahi. Heran dengan perilaku Faizan yang terbilang ... berlebihan. Raut wajahnya seperti khawatir kala menatap netra ini. Kenapa dia bisa sebawel itu?
Aku menaruh botol minum ke dalam tas berwarna biru tua yang kupegang. Lalu, meletakkannya pada jok belakang mobil sedan putih milik Faizan. Atensiku kembali teralihkan ketika lelaki tampan itu memanggil.
YOU ARE READING
Tampik Tak Berkelik
Teen Fiction"Ma, aku harus setinggi apa lagi untuk muasin ego Mama? Jujur aja, aku capek harus selalu keliatan sempurna buat Mama sama Papa." "Ngelukis seolah jadi boomerang andalan Mama. Aku seolah harus selalu berada pada pijakan yang sama dengan Kakak. Apa...