(POV Amira)
Resep kue sederhana yang baru saja kutemukan di buku resep, membuatku penasaran dan ingin langsung terjun ke dunia perdapuran. Untung saja hati dan otak memiliki tujuan yang sama sehingga membuat diri ini lebih semangat bereksperimen di kala waktu senggang. Pun bahagia sekali karena semua bahan yang diperlukan, saat ini sudah tersedia di lemari pendingin berpintu dua itu.
"Kenapa aku lebih suka bikin kue ... daripada makanan berat?" tanyaku seraya mengentak pelan loyang berwarna silver yang terletak di meja panjang.
Entah resepnya yang begitu mudah atau diri ini yang begitu antusias, hingga berdampak pada menit yang dibutuhkan sangatlah singkat. Ya, ampun. Kedua sudut bibirku tak henti-hentinya terangkat. Kenapa harus seseru ini saat bergulat dengan bahan-bahan untuk membuat panganan simple itu?
Hah! Rasanya pening di kepala karena menyerap berbagai rumus di sekolah, seketika menghilang. Digantikan dengan perasaan tenang dan suasana hati menjadi senang. Kugambarkan kebahagiaan ini dengan sedikit bersenandung seraya mengatur waktu dan suhu pada oven yang berada di sebelah kiri. Kemudian, memasukkan loyang berukuran 30 cm itu ke dalamnya.
Sedikit menepuk tangan berharap mengempas debu yang bersarang. Kuarahkan langkah menuju meja makan yang bersisian dengan dapur. Hanya memakan waktu lima detik, tubuh ini sudah terduduk sempurna di kursi yang tersedia. Menopang dagu dengan telapak tangan kanan seraya mengetuk meja dengan tangan yang lain.
Dahiku perlahan berkerut. "Kata Mara, Faizan mirip aktor kesukaannya? Yang mana, ya?" Menggeleng sebentar berupaya mengingat rangkaian huruf yang sedikit terlupakan. Tak menyerah, aku pun kembali berucap, "Korea atau Thailand? Thailand atau Korea? Aish, aku inget! Aktor yang Mara suka itu, kan, dari Thailand! Ganteng banget, sih." Aku menahan senyuman yang siap lepas detik ini juga.
"Hayo, kenapa senyam-senyum?"
Tubuhku membeku saat ada seseorang yang mengalungkan lengannya di leherku. Suara yang sangat familier di telinga, membuat bibir ini langsung menebak pemilik nama itu. Mara, betul saja saat ekor mataku mengarah padanya. Kenapa tiba-tiba dia kemari? Apakah kegiatan melukisnya sudah rampung?
"Cieee ... lagi mikirin cowok, ya? Cerita-cerita, dong!"
Netraku terbelalak seraya mengikuti alunan irama jantung yang kian berdetak cepat. Tunggu! Kenapa tebakannya nggak meleset, sih? Aku harus jawab apa, dong?
***
"Ini baru jam setengah enam, Ma. Kita juga belum sarapan bareng, 'kan?"
Belum ada kata menyerah, Mara terus saja menahan-nahan Mama dan Papa yang sudah bersiap untuk berangkat ke luar kota pagi ini juga. Entah kenapa mereka harus berangkat sekarang, mungkin saja ada sesuatu hal yang harus segera dikerjakan. Padahal, biasanya jam berangkat kami sama, sekitar jam setengah tujuh pagi.
"Mara, kami harus segera berangkat. Kamu itu udah gede. Sarapan bareng kakak kamu juga bisa, 'kan?"
Mama berbicara tegas, sontak membuat gadis berbulu mata lentik itu berhenti berkata. Aura yang dipancarkan beliau hari ini sungguh tak terduga, begitu menyeramkan. Sepenting itukah pekerjaan mereka di kantor, sampai rela membatalkan waktu sarapan bersama dengan kami? Rasanya, hati kecil ini memang tak terima. Namun, apa boleh buat? Aku yakin, apa pun yang mereka lakukan ... demi kebaikan kami juga.
"Kemarin Mama udah janji sama aku, bakal sarapan bareng pagi ini. Mama sama Papa lupa?"
Aku bisa memahami, tapi Mara pasti sangat kecewa. Apalagi mengingat kalimat yang Mama lontarkan kemarin. Begitu menyesakkan, jika tidak ditunaikan. Aku berujar, "Dek, sarapan bareng aku aja, yuk!" Kutarik lembut tangan gadis bermata sayu itu. Namun, ia langsung menghindar.
"Tuh, sana makan bareng Mira. Kami berangkat sekarang. Nggak ada yang berhak ngelarang," tandas wanita bermata sipit itu.
"Nggak, nggak bisa! Mama sama Papa udah janji! Tepatin, dong! Aku cuma minta waktu sepuluh menit aja. Apa nggak bisa? Lebih penting kerjaan daripada anaknya, ya?" sindir Mara seraya mengusap kasar buliran air yang menetes di kedua pipinya. Cukup, aku tak tahan melihatnya seperti ini. Hatiku berdenyut nyeri menyaksikannya.
"Papa duluan ke mobil," pamit Papa tanpa menghiraukan Mara yang berkali-kali memanggilnya.
"Mama mau pergi juga sekarang? Mama mau ngingkarin janji?" Senyum singkat terpatri di wajah cantik Mara. Gadis berwajah oval itu berusaha menahan cairan bening yang menggenang di kelopak matanya.
Tak disangka, Mama menggangguk pasti. "Mara, kamu bukan anak kecil lagi! Kamu sudah besar, tapi tingkah kamu nggak berubah, masih saja seperti anak kecil! Kami ada kerjaan, Mara! Bukan untuk liburan di luar sana!" geram Mama. Wanita berbaju merah itu mengempas tangan Mara yang bertengger di lengannya. Kemudian, dia menapaki satu per satu anak tangga di hadapan. Tanpa berniat menoleh sedikit pun ke arah kami.
"Egois, semuanya egois! Terserah, terserah! Nggak ada yang sayang sama aku! Nggak ada! Semuanya jahat!" teriak Mara seraya berlari menuju kamar tidur kami. Gadis itu membanting pintu dengan sangat keras. Sampai-sampai tubuh ini refleks lompat dari pijakan.
"Tapi ... aku sayang sama kamu, Dek."
***
"Akhirnya, sampe sekolah juga."
Baru saja kami turun dari mobil, sinar mentari dari ufuk timur langsung menyambut hangat keberadaan kami. Menghirup perlahan udara segar seraya menutup pintu kendaraan beroda empat di hadapan. Aku melirik Mara yang masih saja menunjukkan ekspresi datar. Tak ada perubahan yang diberikan. Gadis itu langsung saja melangkah melewati gerbang sekolah yang terbuka lebar.
"Dek, tunggu aku!" teriakku sembari mempercepat langkah.
Kugapai lengan gadis itu. "Senyum, dong! Senyum, Dek!" pintaku seraya menarik ujung bibirnya ke atas dengan ibu jari. Hanya sedetik, senyum manis telah hilang dari wajahnya. Oh, ayolah! Aku tak tega melihatnya seperti ini.
Tiba-tiba saja, sebuah mobil sedan berwarna putih melintas di hadapan kami. Berhenti tepat di parkiran yang sudah disediakan di sini. Tampak sosok laki-laki yang mengenakan sweater panjang baru saja turun dari mobil itu. Perlahan, arah langkahnya mendekat. Wajahnya belum terlihat jelas. Mungkin karena mataku yang memang minus.
"Hai ... Mara, Mira!"
Eh, Faizan? Loh, ternyata dia. Faizan kenal Mara juga?
Aku melirik Mara yang tengah fokus menatap Faizan yang mengikis jarak. Senyum kian mengembang di bibirnya. Kembaranku itu melambaikan tangan kanannya ke udara seraya menyapa, "Hai, Faizan!" Sang empu pun mengangguk sembari melemparkan senyum, tapi ... kok, tipis?
"Ke kelas?" Netra cokelat terang itu mengarah pada diri ini. Apa dia mengajakku? Apakah Mara diajak juga?
Ekor mata lelaki pemilik alis tak terlalu tebal itu menatap Mara. "Sorry, kemarin gue salah panggil."
Hah, apa maksudnya? Salah panggil?
YOU ARE READING
Tampik Tak Berkelik
Teen Fiction"Ma, aku harus setinggi apa lagi untuk muasin ego Mama? Jujur aja, aku capek harus selalu keliatan sempurna buat Mama sama Papa." "Ngelukis seolah jadi boomerang andalan Mama. Aku seolah harus selalu berada pada pijakan yang sama dengan Kakak. Apa...