Secercah Kebahagiaan

10 2 0
                                    

(POV Amira)

"Ish, berisik banget! Suara apaan, sih?"

Mencoba mengumpulkan kesadaran saat ada suara beruntun yang berhasil menusuk telinga. Baru saja mimpi ini akan berakhir, tapi kenyataan menghancurkan semuanya. Bagaimana kelanjutan kisah Fero dan Angeline di kerajaan itu? Apakah samurai berhak meniadakan keduanya atau ....

Kenapa bunyi terus, sih?

Ah, meresahkan sekali! Suara apa itu? Ganggu saja! 

Mau tidak mau, aku harus memaksa mata sayu ini untuk terbuka. Mengerjap-ngerjap, menyesuaikan cahaya yang menembus retina. Perlahan, pandangan buram tergantikan oleh ruangan yang didominansi warna putih dan cokelat tua. Pun tak lupa, adikku yang paling cantik, manis, dan manja ... tengah tertidur di samping dengan posisi membelakangiku.

"Aish! Kok, bunyi lagi?" tanyaku heran.

Seakan tersadar, tangan ini refleks meraih ponsel berwarna biru yang terletak di nakas, tepat di sebelah kiri ranjang. Ternyata perusak bunga tidurku adalah notifikasi pesan WhatsApp. Sontak saja jari-jemariku menari-nari di layar untuk membuka aplikasi hijau itu. Penasaran, siapa yang mengirimkan pesan sebanyak itu pagi ini. 

Hah, pagi? Lah, aku kesiangan! Waktu di ponsel menunjukkan pukul 05.00 WIB. Duh, bagaimana ini? Aku telat lima belas menit.

[Bangun, Mir!]

[Udah pagi.]

[Bangun!]

[Mir, bangun.]

[Selamat pagi.]

[Nanti belajar bareng.]

[Di perpus.]

Kedua alisku saling bertautan seiring bertambahnya kebingungan. Nomor siapa ini? Belajar bareng? Apa jangan-jangan ... eh, iya. Aku menepuk jidat seraya bergumam, "Pasti nomor Faizan. Semalem Mara udah bilang." 

[Udah di-read.]

[Ayo, siap-siap!]

[Mau gue jemput?]

[Eh, jemput di kelas maksudnya.]

Kantuk ini kian menjadi. Menutup mulut dengan telapak tangan saat menguap kembali. Mengusap pelan mata, berharap rasa kantuk ini menghilang seketika. Duh, pasti Faizan lagi menunggu balasan dariku. Langsung saja, kedua ibu jari ini mengetikkan sesuatu.

[Pagi juga, Faizan. Siap, nanti saya ke perpus langsung, ya.]

Tanpa menunggu balasan darinya, langsung kumatikan data seluler dan beranjak dari tempat ternyaman ini. Kenapa begitu sulit untuk melepas kedamaian saat tidur di ranjang sendiri? Sampai-sampai aku bangun kesiangan hari ini. 

Bagaimana dengan Mara? Kenapa dia belum bangun juga? Apakah tidurnya kurang? Aku berdecak saat mengingat kejadian semalam. Aku melupakan janji untuk mendengarkan dirinya bercerita. Sungguh, mata ini tak bisa diajak kompromi.

Maafkan aku, Dek.

"Dek, bangun. Ayo, bentar lagi waktu Subuh-nya abis," kataku seraya menggoyangkan tubuh Mara perlahan. 

Belum ada tanda-tanda gadis itu terbangun. Tak menyerah, aku mengelus-elus rambut sebahu dengan warna biru tua di ujungnya itu. Memanggil nama Mara untuk kesekian kalinya. Hingga akhirnya, ada sahutan yang terdengar.

Mara berusaha untuk duduk dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Wajah oval itu belum bisa kulihat karena terhalang oleh rambutnya. Saat dia merapikan tatanan surainya, mataku terbuka lebar. Kenapa netra perempuan itu bisa sampai bengkak seperti ini?

Tampik Tak BerkelikWhere stories live. Discover now