(POV Amira)
[Semangat, Mara!]
[Kapan-kapan kita eksperimen bikin kue di dapur, ya.]
[Fokus, jangan mikirin yang lain. Semangat!]
"Senyum-senyum mulu."
Aku terkesiap dan spontan menoleh ke kanan. Lelaki yang semalam resmi menjadi pacarku itu memberi sedikit senyuman seraya menatapku dan ponsel ini secara bergantian. Kemudian, netra ini menatap sekeliling meja bundar berbahan kayu yang sudah dipenuhi anak-anak olimpiade kemarin.
"Lagi chat siapa, hm?" tanyanya lembut dengan pandangan tak henti pada layar yang bercahaya gelap ini.
Saat Faizan berpindah ke sisi kiriku, dapat terlihat warna bola matanya yang cokelat terang, pula alisnya yang cukup tebal. Di balik sikap dinginnya, Faizan orang yang baik. Aku rasa ... siapa pun yang bertemu dengannya akan tahu. Maka, apakah benar saat itu bukan fiktif maupun perilaku impulsif?
"Ditanya malah bengong," katanya seraya tertawa kecil.
"Eh, ini ... Mara lagi lomba. Hehe."
Kuperhatikan Faizan mengangguk dan jari-jemarinya mengetuk pelan meja di hadapan. Lelaki yang memakai sweater cokelat tua itu kembali membuka percakapan. "Hmm ... Sabtu mau jalan?"
"Ke mana?"
"GBK."
"Bareng siapa aja?"
"Lo doang."
Jeda, rasanya seperti ada sesuatu yang aneh bersemayam di dada. Apalagi saat menyadari tatapan Rachel yang mulai memicingkan mata. Terasa seperti maling yang lagi diinterogasi polisi.
"Gue mencium bau-bau ...." Erga tak melanjutkan ucapannya. Dia menyesap minumannya sejenak, lalu menatap Rachel dan Galang bergantian seraya mengangkat senyuman yang begitu mencurigakan.
"Keknya ada yang lagi nyembunyiin sesuatu." Rachel bersuara lantas memasukkan kentang goreng ke dalam mulutnya.
"Apa-apaan mau jalan berdua aja?! Pacaran lo, ya?"
Bisa-bisanya kompak begitu. Mereka bertiga mengucapkan kata yang sama dengan satu tarikan napas yang seirama. Kenapa bisa berpikir begitu? Apakah sikap kami berlebihan, seakan menunjukkan adanya sebuah hubungan?
"Loh, emang." Eh, kenapa dibongkar?
"Pantesan ... gue ngerasa hawa-hawa apa gitu, ya, waktu berangkat olim," sahut Galang.
Rachel menimpali, "Apalagi pas di depan perpus. Beuh, mantul."
Perkara risol ... atau apa? Ya, tapi ... kami baru jadian semalam. Tak berani mengungkapkan, hanya bisa menyampaikan kebenaran lewat pikiran. Loh, berarti mata mereka selalu memerhatikan gerak-gerik kami saat di depan perpustakaan kemarin? Ya ampun, meresahkan!
"Masalah buat kalian apa?" Faizan mulai gusar menanggapi ucapan-ucapan mereka. Hal itu membuat Rachel, Erga, dan Galang makin gencar menggodanya.
Hingga akhirnya, perkataan Faizan membuat mereka melongo seketika. "Berisik! Mending kalian pesen makanan sepuasnya. Gue yang traktir."
Wih, Sultan!
***
"Es teh manis anget dua. Jangan dingin, Mbak. Cukup dia aja, teh ini jangan."
Sontak saja dahiku berkerut mendengarnya. Kembali tergelak tertahan menyahuti apa yang mereka ucapkan. Lebih-lebih saat Galang terjungkal ke lantai karena saking hebohnya dia tertawa.
Semua tatapan tak mengenakkan mengarah pada kami. Galang hanya bisa tersenyum malu sembari mengacungkan jempolnya ke udara, pertanda baik-baik saja.
YOU ARE READING
Tampik Tak Berkelik
Teen Fiction"Ma, aku harus setinggi apa lagi untuk muasin ego Mama? Jujur aja, aku capek harus selalu keliatan sempurna buat Mama sama Papa." "Ngelukis seolah jadi boomerang andalan Mama. Aku seolah harus selalu berada pada pijakan yang sama dengan Kakak. Apa...