Maju atau Mundur?

10 2 0
                                    

(POV Amira)

"Ngedadak banget, Ma?"

Mama mengangguk seraya tergesa-gesa menutup pintu kamarnya. Kemudian, dia merapikan sedikit jas cokelat muda yang dikenakan. Tampak anggun nan cantik dengan balutan pashmina berwarna cokelat susu di kepalanya.

"Parah banget masalahnya, Ma? Sampe-sampe harus berangkat malem-malem gini? Udah jam sebelas, lho!" tutur Mara tanpa berhenti menatap Mama yang sibuk memainkan ponsel di genggaman.

"Sudahlah. Jangan banyak tanya. Kalian istirahat saja, ini sudah larut," tegas Mama dan langsung dibalas anggukan oleh kami.

Kami menyalimi tangan wanita paruh baya itu dengan khidmat. Meski ada rasa tak ikhlas melepasnya pergi di waktu malam seperti ini. Namun, kantor lebih memerlukan dirinya dibanding kami. Tak apa, harus rela berkorban demi kesuksesan di masa yang akan datang.

Itu menurutku, entah dengan Mara. Semoga saja sependapat, tapi hati ini menolak keras.

Baru saja melangkah, wanita bermata sipit itu berbalik. Mengarahkan langkahnya pada Mara yang baru saja menguap lantaran rasa kantuk mulai datang.

"Belajar lebih giat lagi. Minta ajarin sama kakak kamu biar jago dalam bidang akademik itu bagaimana. Jangan sungkan-sungkan. Tanya aja, apa pun itu yang bersangkutan dengan mata pelajaran."

Kuperhatikan gadis berbulu mata lentik itu hanya mengangguk pelan, menanggapi ucapan Mama yang menurutku berlebihan. Entah mengapa ambisinya begitu besar sampai menyebabkan ketidaknyamanan pada anak-anaknya. Potensi setiap orang berbeda-beda, tak bisa disamakan.

Setelah kepergian Mama, kami menapaki satu per satu anak tangga menuju kamar pribadi yang terletak di lantai dua. Hanya keheningan yang menemani langkah kami sampai di ruangan ber-AC ini. Sudahlah, lebih baik aku merebahkan diri dan menyiapkan mental untuk mengikuti Olimpiade Matematika esok hari.

Oh, come on!

Mara butuh kamu, Mira!

Di saat hati dan pikiran tak sejalan, membuat fokus diri ini menjadi buyar. Kuperhatikan gerak-gerik gadis bermata sayu yang tengah bergelut dengan alat lukis miliknya. Tak sejenak pun melirikku yang sekarang sudah bersandar di kepala ranjang. 

"Omongan Mama jangan dimasukkin ke hati."

Tak ada sahutan. Masih terpaku dengan berbagai macam cat warna yang dia gunakan. Kalimat yang kusampaikan pun bagaikan tertiup hawa sejuk di dalam kamar.

"Aku nggak bakal maksa kamu buat belajar. Aku bakal ngedukung kamu buat terus ngelukis."

Tak ada yang berubah. Kanvas lebih mengasyikkan daripada saudari kembarnya. Raut wajah yang datar diiringi tatapan kosong ke depan. Tangannya tak berhenti memberi warna pada kain kasar berwarna dasar putih itu.

"Aku tau ... hati kamu terluka. Tapi hatiku lebih sakit kalo hubungan kita seperti orang nggak kenal."

"Inget nggak? Kamu pernah jatuh sampe lutut kamu berdarah karena ngejar capung pas SD. Habis itu, aku langsung sok-sokan ngegendong kamu padahal tinggi dan berat kita nggak jauh beda. Akhirnya, aku ngerangkul kamu sampe rumah biar kamu nggak terlalu ngerasa sakit." 

Aku menarik napas dalam rangka mengurangi sesak yang mengelilingi hati. "Sama kayak waktu itu ... sekarang pun, Kakak ada di sisi kamu."

***

"Oke."

"Iya, nanti aku ke sana."

"Iya, sampai jumpa besok."

Rangkaian pertanyaan bersarang di otakku. Siapa yang menelepon Mara malam-malam begini? Juga, tak biasanya gadis berpipi sedikit chubby itu masih terjaga sampai detik ini lantaran menjawab panggilan selama hampir sepuluh menit.

Tampik Tak BerkelikWhere stories live. Discover now