(POV Amara)
“Beneran nggak mau aku temenin ke kantin?”
Aku cemberut. “Mau, Kak. Tapi—”
“Miraa, tolong lap bagian sini, ya. Aku mau ngangkat sampah.” Suara Nanda mengalihkan perhatian kami.
“Nah, udah dicariin buat piket, tuh.”
Remaja perempuan dengan titik hitam kecil di sudut kiri bibirnya itu tersenyum, setelah mengembuskan napas pelan. “Ya sudah. Nanti kamu mau langsung nunggu di halte apa balik ke kelas?”
“Langsung aja, Kak.” Setelah itu, aku segera menggantungkan tas di bahu kanan dan keluar dari kelas. Di kepalaku langsung terbayang siomay Bu Ita yang terkenal di SMA Cendana Raya ini. Lalu, pikiranku berpindah ke es dawet Bang Radit yang juga tidak kalah terkenal di sekolah bertingkat tiga ini. Angan-angan perihal salah satu nikmat duniawi yang telah melambung tinggi itu terempas oleh kenyataan bahwa kantin sudah tutup.
Aku pun berdecak sebelum meninggalkan kantin menuju halte. “Cepat banget tutup.” Sebenarnya, aku belum lapar. Akan tetapi, menunggu sambil mengunyah atau meminum sesuatu itu lebih menyenangkan. Saat melewati pinggir lapangan, aku melihat Gema sedang meminum sesuatu.
Es dawet!
Segera aku mendatangi cowok berambut kecokelatan itu, tetapi urung setelah sadar Gema sedang berada di antara anggota ekskul basket. Namun, aku ingin minum es dawet! Jadi, aku putuskan untuk mendatangi Gema dan langsung duduk di sebelahnya.
“Gem.”
Gema menoleh, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kenapa lo?”
Aku ikut tersenyum. “Es dawetnya kamu beli di mana? Mau beli juga.” Mataku melirik sekilas kepada es dawet di tangan kanannya.
“Bukan gue, sih, yang beli.” Gema menoleh ke arah kanan. “Zan, beli di mana dawetnya? Ada yang mau beli, nih.”
Mata kami sempat bertemu saat Faizan menoleh. Lalu, cowok bermata coklat terang itu menyodorkan plastik yang berukuran cukup besar kepada Gema. “Ada sisa.” Gema mengangguk, menyodorkan plastik hitam tersebut kepadaku. Ternyata berisi satu plastik es dawet yang masih terikat karet.
“Emang kalian udah kebagian semua?” tanyaku dengan suara pelan.
“Udah. Kebanyakan beli dianya. Kebiasaan Faizan itu, mah.”
Mengapa ada sedikit rasa bahagia di hatiku? Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun berdiri. Tidak ingin mengganggu kegiatan mereka, walau sepertinya mereka sedang istirahat. Aku menoleh saat merasa ada yang memanggil.
“Eh, iya. Berapa harga esnya?” Aku refleks bertanya.
Orang itu tersenyum tipis, matanya sempat terlihat mencari sesuatu. “Amira mana?”
Berusaha tidak memedulikan rasa tidak nyaman di hati, aku tetap tersenyum. “Di kelas.”
“Oh. Hm … boleh minta kontak Amira?”
Senyumku tiba-tiba meredup. Dia melanjutkan ucapannya. “Gue lupa minta kontaknya buat masukin ke grup olim.”
***
Aku menyisir rambut Kak Mira yang telah mencapai punggungnya itu. Rambut Kak Mira berwarna hitam dan lurus. Berbeda dengan rambutku yang hanya sampai sebahu, ditambah sedikit warna biru tua di ujung rambut. Sejujurnya, mewarnai rambut itu agak merepotkan dan aku kurang suka hal merepotkan.
“Kak, tadi ada yang minta kontak Kakak.”
“Siapa, Dek?”
“Faizan. Dia orangnya gimana, sih? Tiba-tiba baik, sekaligus cuek.”
YOU ARE READING
Tampik Tak Berkelik
Teen Fiction"Ma, aku harus setinggi apa lagi untuk muasin ego Mama? Jujur aja, aku capek harus selalu keliatan sempurna buat Mama sama Papa." "Ngelukis seolah jadi boomerang andalan Mama. Aku seolah harus selalu berada pada pijakan yang sama dengan Kakak. Apa...