"MARVA!!"
Marva terlonjak dalam tidurnya, buru-buru membuka mata saat mendengar teriakan Bunda yang memanggil namanya.
"Bangun kamu!" Bunda langsung menarik tangan Marva agar bangun dari posisi tidurnya.
Marva menunduk dalam, merasakan pusing di kepalanya karena tarikan Bunda yang tiba-tiba membuatnya langsung terduduk dari posisi awalnya.
"Bunda sudah bilang tadi malam, kamu masak buat Jidan, Bukannya malah menyuruh adik mu beli nasi goreng di pinggir jalan!" Bunda terlihat marah, nada suaranya meninggi, dan jari telunjuknya menunjuk ke arah wajah Marva yang masih menunduk.
"Lihat adik mu! Perutnya sakit, dia muntah-muntah karena makan sembarangan!" Kata Bunda membuat Marva lantas mendongak menatap Bunda.
"Bunda maaf... Marva bukannya ga mau masak buat Jidan, tapi waktu Marva turun Jidan sudah pergi sama Janu buat beli nasi goreng." Kata Marva pelan, matanya menatap takut sang Bunda yang kini malah menatapnya lebih tajam dari sebelumnya.
"Kamu nyalahin Janu?"
Marva menggeleng tidak setuju, bukan itu maksudnya ia hanya ingin menjelaskan saja.
"Marva, kamu jangan menyalahkan adik mu! kalo Bunda ga sibuk di butik juga Bunda ga akan nyuruh kamu! Kamu ga bisa banget di andalkan jadi Abang?!" Setelah mengucapkan hal tersebut Bunda keluar dari kamar Marva.
Meninggalkan sang anak yang kini tengah menunduk menahan tangis.
°°°
Sarapan kali ini Bunda yang memasak, walau dengan menu sederhana tapi mereka tetap merasa senang. Karena Bunda juga ikut makan bersama mereka, biasanya mereka hanya sarapan bertujuh tanpa Bunda, karena Bunda sangat sibuk di butik akhir-akhir ini.
"Jidan, habis sarapan kita ke rumah sakit ya. Bunda khawatir karena kamu makan sembarangan." Ucap Bunda pada Jidan yang kini tengah menyuap bubur ke mulutnya.
Melihat Jidan mengangguk dalam diam, Bunda lantas menatap Janu, Harris dan Nevan bergantian.
"Kalian juga ikut ya, kan kalian juga makan nasi gorengnya." Kata Bunda pada ketiganya.
"Ga usah Bun, kita bertiga ga apa-apa. Bunda anter Jidan aja." Jawab Janu mewakili kedua adiknya.
"Ya sudah, nanti sekolah yang bener ya jangan makan sembarangan! Mas Raksa sama dek Zian juga!" Kelima anaknya mengangguk patuh pada ucapan Bunda.
"Kalo gitu lanjut makan lagi, di habisin ya. Bunda mau ke kamar dulu siap-siap." Lanjut Bunda sembari beranjak dari duduknya dan meninggalkan meja makan.
Marva makan dalam diam, sedari tadi ia hanya menyimak percakapan Bunda dan adik-adiknya. Ia tak mempermasalahkan ucapan Bunda yang hanya melarang Zian dan Raksa untuk tak makan sembarangan.
Bundanya tengah marah padanya jadi wajar saja jika ia di lupakan. Toh, ini sudah biasa baginya.
"Bang Marva..." Marva mendongak ketika namanya di sebut oleh sang adik bungsu.
"Kenapa Ji?" Marva bertanya lembut, sedikit merasa bersalah saat melihat wajah pucat Jidan.
Benar kata Bunda, seharusnya ia melarang mereka tadi malam dan bukannya langsung tidur setelah belajar.
"Bunda pasti marahin Abang ya? Maaf ya bang karena Jidan Abang di marahin lagi..." Ucap Jidan pelan, kepalanya menunduk takut.
Tangan Marva terangkat untuk membelai rambut hitam Jidan lembut, "ga apa-apa Jidan, ini memang salah Abang, harusnya Abang larang kalian bukannya diam aja. Kamu ga apakan sekarang?" Ucap Marva, bibirnya tersenyum lembut, menimbulkan ketenangan bagi yang melihatnya.
Jidan mengangguk menandakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja.
"Salah Janu juga sih bang, Janu yang ngajak beli nasgor. Maaf ya bang.." Marva menoleh ke arah Janu yang berucap.
"Iya, ga apa. Sekarang kita makan lagi, keburu Bunda datang." Mereka mengangguk melanjutkan sarapan mereka.
°°°
"Bunda..."
Marva memanggil Bundanya pelan, berjalan perlahan mendekati Bunda yang tengah membereskan piring bekas sarapan mereka.
"Maafin Marva Bunda... Bunda jangan diemin Marva..." Suara Marva terdengar lirih, melihat sang Bunda hanya diam tak menggubris permintaan maafnya. Ia mencoba meraih tangan Bunda yang tengah memegang piring.
"Bun... Maaf.."
Bunda menghela napas pelan, matanya terpejam sesaat, sebelum akhirnya menoleh menatap Marva, yang kini sedang menunjukkan tatapan melasnya.
"Marva... Bunda sudah maafin kamu, tapi Bunda ga suka kamu seperti tadi malam. Kamu sudah ga peduli sama adik-adik mu?" Kata Bunda, tangannya meraih genggaman Marva pada tangannya untuk di lepaskan.
Marva menggeleng pelan, tidak terima apa yang di ucapkan Bunda.
"Marva peduli sama adik, tapi Marva pikir mungkin mereka bosen sama masakan Marva. Jadi Marva bebasin mereka beli di luar." Ucap Marva pelan, tangannya bergetar takut saat Bunda menatapnya.
Selalu seperti ini, jika Bunda marah padanya dan mendiaminya. Tubuhnya akan bereaksi demikian, menimbulkan rasa cemas berlebih dan emosinya menjadi tak stabil.
Melihat itu membuat Bunda khawatir, kedua tangannya menggapai bahu Marva lembut. "Marva tenang ya nak, Bunda maafin Marva kok.. Marva tenang ya Bunda ga marah sama Marva." Ucap Bunda lembut berusaha menenangkan sang anak.
Mata Marva sudah berkaca-kaca, rasanya takut sekali hingga menimbulkan sesak.
"Marva, Bunda sudah tidak marah sayang... Sudah ya.." Bunda mengelus bahu itu lembut, sudah lama ia tak melihat Marva kembali seperti ini.
Marva menarik napas panjang, dan menghembuskannya dengan pelan. Di rasa ia sudah cukup tenang, Marva kembali meraih tangan Bundanya yang berada di bahunya.
"Maaf Bunda..."
Bunda tersenyum kecil, membalas genggaman tangan dingin Marva.
"Tidak apa-apa, hari ini tidak usah sekolah saja ya? Kamu ikut Bunda ke rumah sakit." Kata Bunda yang khawatir melihat kondisi Marva.
Marva menggeleng pelan, ia sudah ada janji dengan Lathan dan tidak mungkin ia ingkar dengan janjinya.
"Marva sekolah aja Bun, ga apa. Marva baik-baik aja kok." Ucap Marva sembari tersenyum manis.
"Kalau begitu, kamu berangkat sama Bunda saja... Adik-adik mu sudah pergi lebih dulu, Jidan juga sudah menunggu di mobil." Kata Bunda, Marva mengangguk mengiyakan.
"Tunggu di mobil bersama Jidan ya, Bunda akan bereskan ini sebentar." Lanjut Bunda, sembari kembali membereskan piring bekas mereka sarapan.
Marva kembali mengangguk, lalu berjalan meninggalkan Bunda di dapur sendirian, dan menuju Jidan yang sudah menunggu di dalam mobil.
Dalam diam Bunda membereskan peralatan makan mereka, namun pikirannya masih tertuju pada anak sulungnya.
'Trauma Marva... Apa dia belum sembuh?'
.
/Semangat semuanya (≧▽≦)/
/Luv u all ❤️/
KAMU SEDANG MEMBACA
(SUDAH TERBIT) Marva Dan Lukanya • NCT Dream
Fanfic(Sudah terbit di Firaz media publisher.) Kata Bunda, "kamu itu Abang, kamu harus bisa menjadi tameng untuk adik-adik mu, dan harus jadi yang lebih kuat." Tapi Bunda Abang nggak sekuat itu untuk bisa melindungi adik-adik. (26-10-2021 - 16-08-2023)