—SEBAGIAN CERITA AKAN DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN—
Harris menyandarkan tubuhnya di samping pintu kamar, menunggu Raksa yang masih berada di dalam.
Clek!
Harris menoleh saat pintu terbuka, Raksa keluar dengan seragam sekolah yang serupa dengannya dan berdiri di sampingnya sembari menatap heran.
"Ngapain lo?"
Harris menegakkan tubuhnya, menaikan sedikit posisi ransel yang melekat pada bahu kanannya.
"Lo semalem ngomong apa sama bunda?"
"Kepo banget, emang kenapa?"
Raksa memundurkan tubuhnya saat Harris berjalan lebih dekat padanya.
"Gue denger bunda nangis di kamarnya, dan gue tau setelah makan malam, Lo ke ruangan bunda, kan? Bikin ulah apa Lo sampai bunda nangis?" Harris bertanya dengan wajah seriusnya.
"Lo ngomong apa sih?! Siapa yang bikin bunda nangis?" Elak Raksa.
"Atau Lo tau tentang ayah?" Ucapan spontan dari Harris benar-benar berhasil membuat Raksa menegang di tempat.
Raksa menelan salivanya susah payah sebelum menjawab, "tau apaan sih? Ayah? Ya mana gue tau! Lagian ga usah ngurusin orang yang udah ninggalin kita, orang yang ga bertanggung jawab!"
Sudut bibir Harris terangkat satu, tubuhnya mundur perlahan. Sedikit menjauh dari Raksa.
"See? Lo tau semuanya, Lo tau tentang ayah, Lo tau tentang masalah keluarga kita. Tapi kenapa Lo diem aja? Kenapa Lo ga mau cerita mas?" Tukas Harris berhasil membuat Raksa terdiam.
"Kita ini saudara mas, gue berhak tau tentang apa yang terjadi. Termasuk alasan kenapa ayah ninggalin kita." Sambung Harris.
Raksa menghela napas berat sebelum menjawab,
"Mas bukan ga mau cerita, tapi mas emang ga tau apa-apa Ris. Mas ga tau tentang ayah, mas ga tau dimana dan alasan apa ayah pergi ninggalin kita. Mas beneran ga tau." Jelas Raksa berusaha meyakinkan Harris.
"Semalam mas cuma bilang ke bunda soal uang study tour kita, udah itu doang! Mas ga tau kenapa bunda nangis, nanti kita coba tanyakan sama bunda ya?"
Harris menatap ragu pada Raksa yang berusaha meyakinkannya, dirinya baru akan kembali bersuara namun panggilan dari Jidan menghentikannya.
"Mas, kak. Ayo turun! Ga denger, bang Marva teriak-teriak suruh sarapan?" Kata Jidan yang berada di ujung tangga, sembari menggendong tas hitamnya.
Raksa sedikit melirik Harris, "mas beneran ga tau, dan jangan tanya ke bunda atau bang Marva, terlebih bunda. Lo ga mau kan, bikin bunda sedih? Jadi berhenti cari tau tentang ayah, lupain dia, berhenti peduli sama orang yang bahkan ga pernah peduli sama keluarganya." Setelah berucap demikian Raksa segera menyusul Jidan.
Harris menatap kepergian Raksa dengan datar, salah satu sudut bibirnya naik ke atas.
'gue semakin yakin, kalo Lo tau sesuatu mas.'
。。。
'Raksa ketemu ayah Bun, ayah bilang ingin memperbaiki semuanya.'
'ayah bilang, ayah menyesal.'
'ayah ingin kembali bersama lagi Bun, tapi Raksa ga mau!'
'bunda, jangan percaya ayah ya?'
'ayah penipu, ayah jahat, ayah adalah manusia brengsek yang pernah Raksa kenal.'
Tak!
Rena menaruh Stylus pen-nya dengan kasar di atas meja. Pembicaraannya dengan Raksa lagi-lagi berputar pada otaknya.
Ucapan Raksa yang berhasil membuatnya menangis semalaman karena rasa takut yang kembali hadir pada dirinya.
Rena tak pernah tau. Ia pikir segala hal yang ia rahasiakan pada anak-anak nya berhasil ia simpan dengan apik.
Nyatanya, selain Marva. Putra keduanya juga ikut andil dalam merahasiakan masalah yang terjadi pada keluarganya.
'satu Minggu setelah ayah pergi, Raksa ga sengaja denger percakapan bunda dan oma.'
'Raksa ga suka Abang di rendahkan, Raksa marah tapi Raksa masih kecil saat itu, Raksa ga tau apa yang kalian omongin. Tapi semua omongan Oma jahat!'
'dan sekarang Raksa ngerti bunda apa yang terjadi, apa yang ayah lakukan pada Abang. Makanya Raksa mohon sama bunda jangan terima ayah lagi!'
Rena menghela napas dalam, menyandarkan tubuh lelahnya pada sandaran kursi.
Kepalanya mulai berdenyut nyeri memikirkan segalanya, memikirkan hal-hal yang mungkin akan terjadi pada keluarganya, dan pada anak-anaknya.
Rena benar-benar tak bisa tenang jika terus berurusan dengan mantan suaminya.
Belum lagi Harris yang menolak pindah, membuatnya harus ekstra hati-hati untuk melindungi ketujuh putranya.
—Sebagian cerita di hapus—
.
Hai semuanya selamat tahun baru!
Aku baru bisa update karena beberapa hal yang buat aku sedikit takut (baca.banyak) dan mengundang trauma.
Beberapa bulan lalu, yang tepatnya hari Kamis, karena aku berangkat kerja pagi banget sekitar jam set6. Aku mendapat hal kurang mengenakan, aku mengalami pelecehan verbal dan si pelaku adalah orang yang aku kenal.
Jelas aku trauma. untuk beberapa Minggu, setiap aku pergi dan pulang kerja aku ambil jalan lain yang jauh dari tempat kejadian. Sampai saat ini yang tau tentang ini cuma ibu dan satu sahabat ku, tapi semuanya sudah selesai tidak ada yang harus di ributkan, memang memaafkan si pelaku tidak mudah tapi tanpa adanya bukti aku ga bisa lapor dan memilih menjaga jarak. (Maaf aku jadi cerita hehe, gapapa ga usah khawatir ya!)
oh ya dari kejadian di atas itu, kadang buat aku takut lanjutin cerita ini (spoilerrr) tapi sekarang aku udah gapapa 😀
Jadi buat kalian mau perempuan atau laki-laki (karena pelaku pelecehan yang kayak gini, biasanya ga Mandang gender) harus bisa jaga diri ya?! HARUS BAIK-BAIK AJAAA 🥺🍉
/SEMANGAT SEMUANYA (≧▽≦)/
/LUV U ALL ❤️/
KAMU SEDANG MEMBACA
(SUDAH TERBIT) Marva Dan Lukanya • NCT Dream
Fanfiction(Sudah terbit di Firaz media publisher.) Kata Bunda, "kamu itu Abang, kamu harus bisa menjadi tameng untuk adik-adik mu, dan harus jadi yang lebih kuat." Tapi Bunda Abang nggak sekuat itu untuk bisa melindungi adik-adik. (26-10-2021 - 16-08-2023)