L for LAZARUS

363 24 0
                                    

L. LAZARUS

Mycroft menutup sebuah map tebal berisi kertas-kertas setelah memastikan semuanya akan berjalan sesuai rencana. Diambilnya secangkir teh chamomile di mejanya dengan penuh etika, disesapnya perlahan untuk sekedar mengendurkan syaraf-syaraf otaknya yang sudah bekerja keras seharian ini. Kemudian, disimpan kembali ke atas piring kecil tanpa bersuara—sangat bangsawan sekali dibanding perilaku adiknya yang sedang dalam posisi tidur memanjang di atas sofa dengan gaya khasnya.

Kakak tertua Holmes ini sudah melihat ribuan kali gaya itu. Sebenarnya, tanpa ditanya pun ia sudah tahu jika Sherlock masih memikirkan sesuatu. Tapi nampaknya sang adik tak akan angkat bicara jika tidak ditanya. "Sherlock, masih ada yang kaupikirkan?"

Beberapa menit berlalu dan akhirnya Sherlock menjawab, "Ya."

Mycroft menghela napas. "Apa?"

Dengan tatapan serius, Sherlock langsung beralih ke posisi duduk. "Bagaimana jika ternyata Moriarty akan bunuh diri? Itu bukan hal mustahil, 'kan?"

"Sepertinya, sutradara film atau novelis lebih cocok untukmu dibanding detektif." Kursi berlapis beludru mahal menjadi sandaran tubuh lelah Mycroft.

Sherlock memutar matanya, malas menanggapi candaan Mycroft. "Aku tidak menganggap itu sebagai sebuah pujian, Mycroft."

Sang petinggi pemerintah Inggris itu menghela napas lagi, entah untuk yang ke berapa kalinya hari ini. Ia menggeleng dan mengetuk-ngetuk map yang baru saja ditutupnya. "Kita sudah membuat banyak skenario agar si criminal mastermind itu bisa terbukti bersalah tanpa ada korban, Sherlock. Bahkan kejatuhan namamu sudah kita rancang sesuai dengan rencananya. Lalu, apa lagi?"

"Kita anggap saja Moriarty bunuh diri sebagai skenario terburuk."

"Dan jalan keluar terburuknya?"

"Aku harus mati."

Suasana ruangan itu mendingin, sedingin rangkaian kata yang keluar dari mulut Sherlock.

"Kau bercanda, 'kan?" Sungguh, Mycroft tak dapat menutupi keterkejutannya.

Melihat raut shock di wajah kakaknya, kedua sudut bibir Sherlock sedikit terangkat. "Tentu saja aku akan mati." Tangannya membentuk isyarat tanda kutip. "Kau tak ingin kehilangan adik tersayangmu bukan, kakakku?" Sherlock sengaja menekankan beberapa kata dengan nada agak sinis.

Mycroft tak memedulikan sarkasme Sherlock, ia menunggu lanjutan rencana adiknya.

"Jika prediksi kita benar, jaringan Moriarty sangat luas dan butuh waktu untuk memburunya. Tapi, skenario yang sudah kita susun akan sia-sia jika Moriarty mati. Satu-satunya cara adalah membuatku mati. Aku tahu kau dapat dengan mudah mengatur cara dan berita kematianku."

Dibukanya kembali map itu, lalu Mycroft menulis sesuatu di sana, "Kemudian?"

"Berita kematianku pasti membuat seluruh anak buahnya berpesta pora dan melonggarkan pertahanannya. Pada saat itulah aku akan menghabisi jaringannya yang masih tersisa. Jika misi ini sudah selesai, maka aku akan kembali dari kematianku. Aku tak tahu berapa lama waktu yang aku butuhkan. Mungkin dua atau tiga tahun."

"Oke, kodenya?"

"Ah, kode?" Sherlock sekarang berjalan mondar-mandir. "Sebentar... mati... bangkit dari kematian... hmm... Lazarus."

"Lazarus? Berasal dari bahasa Yunani kuno dan sering diidentikan dengan makna 'bangkit dari mati'." Mycroft rangkaian rencana baru ini beberapa waktu, terkadang berhenti untuk mengecek ponselnya dan lanjut menulis.

Tiba-tiba gerakan pena Mycroft terhenti. Ia menatap dalam ke arah iris kelabu sang detektif. "Kau akan memberitahu John tentang semua ini?"

Sherlock termenung sejenak sebelum menjawab, "Tidak... aku—" –tidak ingin membahayakan nyawanya dalam misi sangat berbahaya seperti ini, kalimat panjang ini seharusnya lanjutan dari pernyataannya. Namun, hanya sampai pangkal lidah dan tersekat di tenggorokan.

Tidak ada lanjutan dari kalimat menggantung adiknya, Mycroft menutup map itu untuk terakhir kali. "Baiklah, kita mulai skenario A besok."

Lalu, Sherlock berjalan pulang tanpa pamit dari rumah Mycroft. Perlahan, ia ayunkan langkahnya menuju 221B Baker Street, tempat sang partner sedang menunggunya. Ada sedikit rasa sakit yang menyelinap ketika ia mengingat ucapan terakhirnya. Sentimental, keluhnya dalam hati. Ia singkirkan perasaan itu dengan berharap, semoga skenario terburuk itu tak sempat terealisasi. Tapi tetap saja, perasaan sakit bukanlah hal yang mudah untuk diabaikan.

Maafkan aku, John.

Fragments of (a BBC SHERLOCK fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang