O. Only Human
Ia menyadari ada yang berbeda di raut wajah teman flatnya itu. Otot wajah yang tegang, bibir yang terkatup rapat dan sedikit bergetar—ingin mengucapkan sesuatu namun sekuat mungkin ditahan—, warna pembuluh darah memerah kontras dengan kulit wajahnya yang pucat dan sorot mata yang menyiratkan... kemarahan, kesedihan dan kekecewaan.
Dari banyak polisi di sini, tak ada satu pun yang menyadari perubahan air wajah dari sang konsultan detektif.
Kecuali John.
Ya, hanya John yang menyadari ekspresi 'kemanusiaan' Sherlock. Tak ada yang salah jika Sherlock merasa sedih karena kasus ini memakan korban jiwa yang seharusnya tidak terjadi. Tak ada yang salah jika ia sangat kecewa karena secara teknis ia sudah berhasil memecahkan kasus tapi seorang nenek tak berdosa harus kehilangan nyawa. Ia menutupi semua itu dengan diam, tak mengeluarkan sepatah kata pun, tak membiarkan orang lain tahu apa yang ia rasakan.
Sherlock Holmes bukanlah robot dengan otak elektrik dan sambungan-sambungan listrik yang terhubung pada sebuah penyimpanan data raksasa. Ia bukanlah mesin pemecah kasus yang akan aktif jika mendengar "Kasus menarik!" dan nonaktif kembali jika kasus beres terselesaikan. Sherlock Holmes hanyalah seorang pria dengan otak yang sangat, sangat jenius dan berusaha sekuat mungkin menekan perasaannya agar otaknya dapat bekerja lebih optimal.
Ia hanya seorang manusia biasa. Yang juga memiliki hati.
Punggung kursi menjadi pelabuhan tubuh lelahnya. Beban di kedua pundaknya sungguh berat; menyelesaikan runtutan kasus demi kasus dalam waktu terbatas untuk melayani permainan dari seorang maniak di luar sana. Dan ia menyanggupi untuk menanggung beban itu... sendirian.
Sebuah hembusan napas yang panjang dan perlahan seolah dapat sedikit melonggarkan tanggung jawabnya. John berpikir bukan merupakan tindakan yang bijak untuk menepuk bahunya lalu berkata, "Kau sudah berusaha yang terbaik," hanya untuk menghibur Sherlock. Ia tak punya hak dan John tahu Sherlock tak butuh semua itu. Ia tak butuh simpati. Ia tak butuh dikasihani. Apakah dengan sebuah empati akan membuat nenek tersebut hidup kembali?
Setelah jeda beberapa menit tak ada yang mengeluarkan suara, sebuah nada berat dan monoton mencairkan suasana yang padat emosi ini. "John, ayo kita pulang. Aku lapar." Sherlock bangkit dari duduknya, merapikan jas tebalnya dan menaikkan kerah.
John melihat kembali wajah sang partner. Sorot mata penuh determinasi tinggi itu telah kembali. Sikap tak acuh seperti biasa segera menghampiri. John tersenyum. "Ke restoran Angelo atau pesan saja?"
"Pesan saja. Aku ingin segera sampai ke flat," jawab Sherlock sembari berjalan keluar dari markas New Scotland Yard dan John mengikuti dari belakang.
Tak peduli sejenius apapun Sherlock, setidakpedulinya ia pada orang-orang di sekelilingnya, semaniaknya ia pada kasus kriminal, masih ada ruang kecil di istana pikirannya untuk sebuah entitas bernama... perasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fragments of (a BBC SHERLOCK fanfiction)
FanfictionKepingan-kepingan kisah yang tak akan pernah bisa terhapus oleh waktu. Sherlock Holmes dan orang-orang di sekelilingnya. Disclaimer for Sir Arthur Conan Doyle (Sherlock Holmes) Steven Moffat and Mark Gatiss (TV Series SHERLOCK by BBC ONE)