Masih di depan laptopnya, gue lihat Mbak Erin masih sibuk menyelesaikan pekerjaan di jam makan siang. Dia punya kebiasaan, jadi kurang berselera makan kalau pekerjaan tidak kunjung selesai. Ada saja orang model begini. Makan ya makan saja kan. Kerjaan ya urusan kerjaan. Jangan sampai urusan kerjaan menghambat makan. Menyiksa diri itu namanya.
"Mbak, makan yuk!" ajak gue yang merasa perlu bertanggungjawab untuk menebus bekal makan siangnya.
"Tanggung, Nail. Duluan saja."
Dan dia masih saja berkutat dengan kertas-kertas di mejanya. Tanpa memperhatikan gue sama sekali. Pada akhirnya kata duluan itu berakhir tanpa susulan. Sampai gue balik pun, Mbak Erin akan tetap di meja itu dalam posisi seperti itu. Kan gemesin, argh!
"Makan ya makan, Mbak. Jangan kerjaan ganggu waktu makan. Yuk! Gue traktir." Gue sedikit memaksa.
Dia cuma menggeleng. "Aku curiga kalau kamu baik begini. Agak serem juga sih jadinya."
Gue diam. Menunggu untuk beberapa saat. Dia masih saja tidak menghiraukan. Sibuk membandingkan data demi data pada kertas yang ada di tangannya.
Karena gemas sendiri akhirnya gue mendekat. Gue cekal tangannya yang akan menekan keyboard.
"Nail!" bentaknya.
"Ma-kan. Gue nggak mau lu sakit gara-gara kerjaan." Dikte gue memaksa.
***
Apa dia bilang? Dia tidak mau aku sakit? Ini serius kan Nail bilang begitu. Karena diucapkan dengan mimik keseriusan, akhirnya aku pun terhipnotis. Manut.
"Nail...," sergahku pada tangan yang masih digandeng olehnya saat hampir keluar ruangan. Bisa jadi bahan ghibah kalau ketahuan satu orang saja.
Kami diam. Bahkan di dalam lift pun tidak ada obrolan. Tidak ada senyuman. Dia cuek dengan kedua tangan masuk di saku celana.
"Mau makan di mana?" Aku iseng bertanya.
Dia cuma mengendikkan bahu. "Terserah lu, Mbak."
"Mie ayam saja ya." Cuma itu yang terlintas di pikiranku. Entahlah, jadi aneh kalau Nail baik padaku begini.
"Di mana tempat makan mie ayam yang nyaman. Gue nggak mau makan di pinggir jalan. Gue pengen makan sambil ngobrol," pintanya sambil ngeloyor keluar lift lebih dulu.
"Sombong amat, sih," gerutuku setelah menyusulnya.
"Bukan sombong. Biasanya juga gue mau. Lagi pengen aja."
Akhirnya kita memutuskan makan di salah satu gerai bakmi yang terkenal. Kami duduk berhadapan di meja paling pojok.
"Kamu kenapa sih, Nail? Manyun dari tadi," tanyaku padanya yang sedang memainkan ponsel.
Beneran aneh itu anak hari ini. Tiba-tiba menggandengku, terus mengajakku makan siang berdua. Mau mengobrol katanya. Setiap hari juga mengobrol kan. Biasanya kita jarang banget makan siang di luar berduaan begini. Kan aneh.
"Suntuk lihat elu kerja nggak tahu waktu. Kalau lu sakit kan gue juga yang ribet, jadi kerja double."
"Ya kan memang lagi banyak kerajaan. Kamu juga kan?" dalihku. "Sudah konsekuensi pekerjaan ya harus dilakoni Nail. "
"Kerja keras ikut orang nggak akan bikin kita cepat kaya, Mbak. Kerjakan semampunya."
"Kalau aku tidak mampu, aku dipecat. Dan aku nggak mau," tegasku.
"Kenapa? Lu kan punya suami yang siap menghidupi."
"Beda kali, Nail. Pekerjaanku kan berartu uangku, buat tambahan kuliah adik-adik. Buat Ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dik Duda (21+)
Romance"Siapa yang lebih merendahkan elu di sini, Mbak? Gue yang berani nyentuh elu tapi sayang sama elu atau suami lu yang berani nikahin tapi cuma nganggurin? Melek Erin! Lu nggak dapat nafkah lahir batin, sementara gue? Gue akan kasih apapun yang lu min...