Hal paling gila yang pernah gue lakukan selama ini adalah penuh percaya diri menatap suami cewek yang menarik perhatian gue. Padahal gue juga nggak tahu maksud dan tujuan gue berkunjung ke rumah Mbak Erin saat ini. Satu-satunya karangan alasan gue adalah ingin tahu kondisi rumah tangganya. Cara lelaki itu memperlakukan istrinya, juga cara Mbak Erin memperlakukan suaminya.
Sayangnya usai berkenalan dengan gue, Fatir -nama suaminya- masuk setelah mengucapkan suatu kalimat yang membuat gue tersenyum simpul.
"Saya permisi masuk dulu." Fatir meminta izin. Gue jawab dengan angguk dan senyum.
"Tapi, Mas." Mbak Erin tampak keberatan.
"Temani dulu tamumu."
Lalu dia pergi. Masuk ke dalam dan tak kembali. Tak tahu kalau sudah meninggalkan wanita galau di hadapan gue.
Beberapa kali gue ajak bicara, Mbak Erin hanya bengong. Perlu dua kali gue panggil baru menjawab. Wajahnya tampak murung. Gelisah sambil sesekali menoleh ke belakang. Ke arah dalam rumah. Nggak tega. Sesuatu yang nggak benar di antara dia dan suaminya memaksa gue mengambil keputusan untuk pamit pulang.
"Gue balik. Kalau elu kenapa-napa, kontak gue biar bahagia."
"Emang kamu siapa? Pelawak?"
"Orang ganteng kayak gue kalau ngelawak suka nggak lucu, Mbak."
Dia mendesis lalu mengibas tangannya mengusir gue.
***
Jam berapa ini? Gue kayaknya datang kepagian. Secara nggak ada yang perlu gue kerjakan di pagi buta begini. Curiga gue sama diri sendiri, kenapa akhir-akhir ini semangat berangkat kerja? Karena ada dia.
Betapa kagetnya gue pas masuk ruangan dan menemukan sosok yang baru saja terlintas di pikiran. Ternyata kini dia sudah di depan mata. Kami bertatapan. Sama-sama tersentak. Dan dari sana gue tahu dia sedang menangis. Hidungnya merah. Matanya yang sembab buru-buru memalingkan wajah. Terakhir, dia berusaha membereskan tangis dengan mengusap kasar pipinya.
"Kenapa lu nangis, Mbak?"
Karena sengotot apapun dia menyembunyikan masalah dari gue, gue selalu selangkah lebih dulu mengetahuinya. Akan gue kejar sampai dapat jawaban.
"Nggak ada. Siapa yang nangis?" kilahnya jutek banget.
"Bocil pun kalau ku omongin gitu juga nggak bakal percaya kali, Mbak."
"Aku nggak nangis. Idah balik sana ke mejamu," usirnya padaku yang kini duduk di depan mejanya.
"Suami lu marah karena gue kesana?"
"Apa sih? Nggak," sahutnya mantap. Dia nggak terima.
"Lalu?"
"Ya aku nggak apa-apa." Dia semakin risih.
Gue nggak suka dia bohong begini. Ada sesuatu yang dia sembunyikan dari gue. Dan gue harus tahu itu karena gue atau bukan.
"Sudah balik sana!" Usirnya.
Dia mendorong perut gue. Seketika gue tangkap pergelangan tangannya. Sontak dia mendongak. Mendelik tak terima.
"Kalau memang itu karena kedatangan gue ke rumah lu, gue minta maaf, Mbak," tutur gue lembut dalam rangka bujuk rayu mendesaknya bicara.
"Gue nggak apa-apa, Nail," jawabnya serak. Lirih sekali. Kontras dengan pengakuannya sendiri.
Masih gue genggam pergelangan tangannya. Lalu berlutut di depan kakinya.
"Gue tahu sesuatu sudah terjadi sama diri lu, sama rumah tangga lu. Entah itu karena gue atau bukan, gue nggak akan maksa elu bicara, tapi please jangan pernah lu bersedih di depan gue. Karena gue nggak suka."
Wajahnya terangkat. Namun tangis yang sebelumnya mereda kini kembali mengusai ayu wajahnya.
"Gue minta maaf, Mbak."
Tangisnya pecah tanpa gue duga. Dia simpan pangkal jempolnya di bagian dalam mata. Namun gugu tangisnya kian membesar. Tetes air yang mengalir dari sudut matanya pun menderas.
Gue berdiri. Memeluknya. Menyimpan wajahnya di perut gue selagi dia pasrah. Di sini gue paham seberapa kalut dia sekarang. Parah.
***
"Makan yuk, Mbak," ajak gue sambil berdiri.
"Emm. Kamu duluan saja."
"Gue ngajak barengan."
"Aku belum lapar, Nail," balasnya lirih.
"Jadi lu mau makannya nanti setelah jam pulang kantor nih?"
"Ya nggak gitu, Nail."
"Terus? Lu mau nyolong waktu makan di sela jam kerja?" tuduh gue sengaja.
Dia diam. Melirik-lirik gue kesal.
"Lu nggak bawa bekal. Mau makan apa?"
"Lagi malas makan," jawabnya malas.
"Malas makan nggak bikin kerjaan cepat selesai. Malas makan cuma akan akan bikin elu sakit."
"Dih, sok perhatian kamu, Nail."
"Kapan gue nggak perhatian sama elu? Coba ingat-ingat."
Dia memutar bola matanya malas. Mengingkari setelah menemukan jawaban atas perhatian yang gue berikan akhir-akhir ini.
"Kalau aku nggak makan juga bukan kamu yang lapar."
Cewek memang selalu bikin gemas.
"Tapi kalau lu kelaparan terus nangis, gue yang kasih pelukan."
"Nail! Jangan karena sudah berhasil menenangkan aku sekali, terus kamu jadi besar kepala ya. Aku cuma terbawa suasana."
"Suasana kalut butuh pelukan maksud lu? Emang suami lu nggak bisa ngasih pelukan ya?"
"Nail!" Bentaknya emosi. Benar kan, ada yang salah dengan hubungan mereka. Tampak dari tenaganya yang besar saat kubahas pasal suaminya.
"Ya, Mbak. Gue di sini," jawab gue innocent sambil mendekat ke mejanya. Meremas tepi mejanya sambil sedikit membungkukkan badan. "Makan yuk."
"Ngajak makan maksa amat sih?" protesnya.
"Gue emang suka memaksa kalau bikin orang bahagia. Lu mau kan gue bikin bahagia?"
"Apa sih!"
Pipinya merona. Dia pun ngacir keluar ruangan karena salah tingkah. Berjalan cepat mendahului gue yang bahagia karena berhasil menjalankan misi.
Mbak Erin, lu udah kayak martabak rasa coklat premium. Berat, manis, tapi ada pahit-pahitnya yang menyeimbangkan rasa.
***
Baca kisah ini sampai tamat di
1. Kbmapp (tanpa adegan dewasa)
2. Karya karsa (adegan dewasa tidak dipotong
KAMU SEDANG MEMBACA
Dik Duda (21+)
Romance"Siapa yang lebih merendahkan elu di sini, Mbak? Gue yang berani nyentuh elu tapi sayang sama elu atau suami lu yang berani nikahin tapi cuma nganggurin? Melek Erin! Lu nggak dapat nafkah lahir batin, sementara gue? Gue akan kasih apapun yang lu min...