10

2.9K 226 6
                                    

Hari ini Nail datang tanpa menyapaku. Aku pun tak berniat menyapanya. Kembali lagi, ini soal menjaga harga diri. Sejak memasuki ruangan, dia segera membuka laptop lalu serius memantengi layarnya. Sesekali kulirik dan mendapati matanya masih naik turun memantengi.

Tak mau mengganggu, aku pun melanjutkan pekerjaan. Besok kami harus ke luar kota tapi materi bahkan belum sepenuhnya rampung. Jika terus begini, sepertinya malam ini kami akan lembur. Padahal sebisa mungkin kuhindari itu.

Beberapa saat kemudian aku kembali mencuri pandang ke arah Nail. Seketika leherku yang bergerak kembali ke sana kala melihat cara Nail menatapku begitu dalam.

"Kenapa melihatku begitu?" sergahku keberatan. Dia masih diam dan menatapku semakin dalam. Bahkan memutar duduknya agar lebih nyaman. "Nail!"

"Hm," gumamnya dengan senyum tipis menghias wajah. Kurasa dia sedang menertawakan kepanikanku.

"Berhenti menatapku seperti itu."

Seringai licik Nail pecah sebelum akhirnya kembali bersikap biasa. Dia aneh. Tatapannya hari ini sangat aneh.

"Kerja, Nail. Aku nggak mau lembur. Jadi kuusahakan menyelesaikan pekerjaan sebelum jam pulang."

"Akan kuusahakan kita lembur hari ini. Biar kita bisa bersama lebih lama," balasnya dengan wajah innocent yang kubenci.

Entahlah. Sering kali aku kesulitan membedakan sikapnya. Kerap kali sama antara serius atau hanya bercanda. Bahkan tak jarang saat dia menggombal dan merayu dengan bodohnya pun aku hanyut melarut.

Sudah berulang kali aku memintanya berubah. Menghindar. Tapi semakin aku menjaga jarak, semakin dia mendekat. Apalagi dia selalu memahami segala pelik yang sedang kualami. Juga tentang borok rumah tanggaku yang selalu berusaha kututupi.

"Besok gue jemput ke rumah lu habis subuh."

"Kenapa kita nggak ikut travel saja sih, Nail?"

"Lebih fleksibel pakai mobil pribadi, Mbak. Kenapa? Suami lu nggak kasih izin? Sini gue yang izinin."

"Apa sih? Ini kan urusan kerjaan, aku sudah bilang ke Mas Fatir semalam. Boleh kok."

"Baguslah. Kalau suami lu nggak izinin elu berangkat bareng gue, biar gue yang ngomong ke dia."

Lihat betapa congkak sikapnya. Aku kenal Nail. Saat aku bilang 'ya', aku yakin dia akan benar-benar menemui mas Fatir. Dan aku nggak mau itu terjadi. Biar aku yang minta izin. Toh Mas Fatir tidak akan menolak. Dia tak pernah peduli padaku.

"Hey, ngelamun lagi lu, Mbak."

Inilah kenapa aku selalu kesulitan menyembunyikan masalah dari Nail. Suasana hatiku sulit ditutupi.

"Sudah ah, lanjut kerja saja," ajakku lari dari topik pembicaraan.

***

Aku melipat tangan di atas meja. Berbagai dokumen presentasi dari laporan bulanan belum juga selesai. Padahal ini sudah pukul setengah enam. Lembur benar-benar tak bisa kuhindari.

"Iced chocolate machiato. Just for you."

Aku tersenyum. Menyambut segelas es coklat dari tangan Nail. Setidaknya es favorit ini sedikit melenturkan urat di kepalaku yang menegang.

"Thank you, Nail." Kamu selalu mengerti yang kubutuh. Kutahan untuk mengucapkan itu.

Dari depan mejaku kini dia beralih ke belakang kursiku. Membungkukkan badan, memeriksa layar komputer yang menampilkan pekerjaanku.

"Bagianmu sudah selesai?" tanyaku ingin tahu sembari menoleh padanya. Ternyata pipi Nail berada tepat di depan wajahku. Dia sengaja menoleh. Membuat mata kami berada dalam satu garis lurus. Aku membuang muka salah tingkah.

Dik Duda (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang