Jadi biar gak bingung, aku tata ulang urutan sub bab nya. Sebagian tulisan di bab 1 akhirnya aq pindah ke sini. Semoga dg begini lebih memudahkan pembaca semua ya.
***
Hai Mbak!" sapanya.
"Hai juga, Junior." Balasku pendek dari balik meja kerja.
"Pagi banget datangnya."
"Bukan aku yang pagi banget, kamu yang tumbenan jam segini udah datang." sindirku blak-blakan.
Dia lantas menyeret kursi di depan mejaku. Mengetahui beberapa kotak makan mulai kubuka. Aku memang biasa sarapan di kantor sih. Kadang bawa snack karena hobiku yang doyan banget mengunyah. Nah lelaki tengil di hadapanku ini jadi pihak yang sering diuntungkan sekarang. Sekali dua kali kutawari, sekarang malah jadi langganan. Kayak pagi ini, tiba-tiba dia nyomot beberapa potong melon dari kotak yang baru kubuka.
"Manis Nail?"
"Manis kayak yang ngupas." Jawabnya sambil memasukkan sepotong lagi ke dalam mulutnya.
Jangan harap aku menggubris gombalan recehnya. Yang seperti itu sudah biasa. Modusnya kalau butuh asupan makanan dari kotak-kotak logistikku. Kalau sama dia, tidak berlaku yang namanya baperisasi.
"Benar katamu Nail, jadi manis karena makannya sambil lihat kamu." balasku tak mau kalah.
Dia pun menyodorkan jempol pertanda setuju di depan wajahku. Sengaja mengganggu penglihatanku. Lantas menariknya kembali untuk nyomot potongan buah kedua. Dan berakhir fokus pada layar ponselnya lagi.
"Nggak sopan kamu sama senior."
Ya, aku memang seniornya saat di perguruan tinggi dulu. Tapi, itu bukan berarti kami mengenal sejak lama. Kami baru tahu jika satu almamater dan satu jurusan saat sudah sama-sama dipindah ke kantor pusat di Jakarta ini.
Jadi ceritanya, Nail ini orang Jakarta tulen. Sedangkan aku, orang Surabaya tulen yang sudah lama menetap di Jakarta. Sejak lulus kuliah, kami sama-sama bekerja di perusahaan jasa telekomunikasi raksasa di Indonesia. Bedanya, dulu dia ada di kantor pusat Makassar, sedangkan aku sudah di Jakarta. Promosi jabatan membuat kami bertemu di dalam satu divisi. Lalu baru tahu jika kami dulu satu perguruan tinggi. Tepatnya, dia tiga angkatan di bawahku.
Boleh dibilang kami cukup dekat. Cukup vulgar untuk saling mencela. Intinya kami nyaman dalam berteman. Hanya berteman kok, karena dia baru saja menikah, aku juga sudah membina rumah tangga.
***
Macet. Selalu seperti itu hari-hari Jakarta di pagi, siang, apalagi sore hari. Malam juga sama. Gerah. Lapar tapi sumber pangan gue belum datang.
Eh ternyata sudah sih. Gue lihat sudah ada sepaket tas bekal yang kalau hilang bisa bikin kita dicoret dari kartu keluarga. Artinya Mbak Erin sudah datang tapi menghilang.
Nggak perlu waktu lama. Pintu geser ruangan pun terbuka. Dia berlari kecil tergopoh-gopoh menghampiriku yang sudah menanti di depan meja kerjanya.
"Ngapain lo, Mbak?"
"Nah kamu yang ngapain di situ?" Dia mengernyit risih padaku. "Malak sarapan dari makan siangku lagi?"
Memang sudah tiga hari ini bekal makan siang dia gue sikat. Baru terpikirkan saja setelah sekian lama. Apalagi masakan dia enak. Dua hari yang lalu nasi goreng, sedep banget dimakannya. Warnanya merah persis yang pernah gue makan di Jawa Timur. Nah kalau kemarin dia bikin udang asam manis, seger juga karena ada potongan nanasnya. Kan gue jadi penasaran hari ini dia bikin apa.
"Kenapa jadi fakir sarapan begini sih kamu? Coba istrimu itu bawa kesini, ditinggal melulu di Makassar. Lama-lama diambil orang tahu rasa kamu. Nggak karatan itu barang lama nganggur?" Ejekannya memrotes tapi tetap membuka kotak bekal yang terpaksa disodorkan pada gue.
Menu hari ini ternyata nasi kuning pindang telor bulat. Kebayang nggak di otak kalian wujudnya bagaimana? Jadi ada telur ayam yang warna coklat itu. Ada juga sambal goreng kentang dan hati yang semakin mengucurkan ludah gue.
"Gue jatuh cinta sama masakan elu sih, Mbak. Jadi ART gue ya, gue gaji tinggi deh. Sebut saja nominalnya, nanti gue bayar sesuai permintaan," goda gue sambil menaikturunkan alis, yang kemudian dibalas dengan tatapan jijiknya.
"Makanya bawa istrimu ke sini. Miris aku melihat kamu begini."
Selalu saja bawa-bawa bini gue. Ck!
"Lu tadi masuk lari-lari kenapa? Bawa gosip apa lu dari divisi sebelah?"
Ternyata begitu mudahnya mengalihkan perhatian seorang wanita. Wajahnya langsung bersinar saat gue tanya soal gosip. Dia kemudian antusias menceritakan.
"Kamu tahu Tami kan?"
Gue mengernyit. "Tami Saputri?"
Dia mengangguk cepat. "Ternyata dia baru saja bercerai. Penyebabnya karena si Tami kecantol sama Hendra. Kamu kenal Hendra nggak? Katanya sih dari divisi Jakarta Selatan."
Gue manggut-manggut sambil menikmati nasi kuningnya yang laziz.
"Padahal pertemuan antar divisi paling sebulan sekali. Kok bisa ya mereka cinta lokasi."
Ya bisalah Mbak. Namanya selingkuh ya selalu ada niat. Disengaja.
"Emang si Hendra itu orangnya ganteng, Nail?"
"Gantengan gue," jawab gue pendek. Jelas mukanya langsung berubah nggak enak.
"Nggak bisa diajak ghibah kamu. Isi otakmu terlampau zigzag."
Terus terang topik yang dia bawa nggak enak di telinga gue. Nggak masuk. Nggak ngotak. Ngapain ngurusin kehidupan orang, ya kan?
"Ngapain sih mengurus kehidupan orang? Mereka mau cerai ya artinya bukan jodohnya. Kali sudah nggak cinta, nggak cocok, nggak sejalan pikirannya."
"Dih kok kamu sewot?" Balasnya. Mungkin nada gue memang sedikit berlebihan.
"Mending cari kegiatan lain yang lebih manfaat dari pada ngurusin rumah tangga orang. Misal nih ya, lu yang cerai karena selingkuh sama gue terus diomongin seisi kantor, bagaimana? Lu rela, Mbak?"
"Gak sudi!" Biasanya kalau kalau dia sudah keluar Jawanya begini pertanda sedang serius. "Aku selingkuh juga pilih-pilih kali, Nail."
"Kalau nggak ada pilihan?"
"Aku golput." Dia ngelesnya pintar. "Naudzubillah, selingkuh sama kamu malah susah. Sarapan aja nggak modal."
Gue langsung pasang wajah sok bijak. "Orang kalau sudah cinta pantang mikir soal modal loh, Mbak. Kata Agnes monica cinta itu nggak ada logika."
"Kemeruh!"
Mata gue bergerak ke atas, meningat-ingat arti bahasanya. Kalau nggak salah 'kemeruh" itu bersinonim dengan 'sotoy'.
"Serius. Misal nih elu kan bantet Mbak, pendek berisi. Nggak masuk kriteria cowok sama sekali. Kalau bukan karena cinta, mana mau suami lu nikahin lu."
Tok! Kena getok buku kan kepala gue.
"Tinggi gue 163 cm lu bilang bantet. Jangan mentang-mentang lebih tinggi. Daftar polisi juga bisa gue."
"Ya sudah jadi polisi aja sana."
"Balikin nasi kuningku!" Gertaknya sebal. Cewek kalau sudah kalah debat ngelesnya begini.
Bibirnya manyun. Sesekali sorot matanya menghardik. Lucu juga cewek yang usianya terpaut empat tahun dari gue ini. Ya gue memang bohong soal bantet, padet, dan berisi. Faktanya, setelah gue lihat-lihat lagi sekarang, dia tinggi dan cuma sedikit berisi. Kulitnya langsat, rambutnya panjang diikat ke belakang. Tidak pernah berdandan tebal tapi tampak manis dengan pulasan bibir berwarna natural. Pink bukan orange juga bukan, entah apa nama warna lispstiknya.
Saat dia sibuk menata berkas di mejanya. Gue masih sesekali memperhatikan wajahnya. Gue rasa dia tergolong cewek yang manis, yang nggak membosankan untuk terus diamati. Paham kan tipe cewek yang kayak gini?
Ah ngapain coba gue amati dia begini. Dia istri orang. Setan lincah bener sih ganggu penglihatan.
***
Kamu bisa baca cerita ini sampai tamat di
1.kbmapp
2.karyakarsa (adegan dewasa tidak dipotong)

KAMU SEDANG MEMBACA
Dik Duda (21+)
Romance"Siapa yang lebih merendahkan elu di sini, Mbak? Gue yang berani nyentuh elu tapi sayang sama elu atau suami lu yang berani nikahin tapi cuma nganggurin? Melek Erin! Lu nggak dapat nafkah lahir batin, sementara gue? Gue akan kasih apapun yang lu min...