6

4.1K 252 8
                                    

"Nggak usah curi-curi pandang ke gue sampai segitunya, Mbak."

Aku lantas melarikan bola mataku ke atas, ke samping, ke mana-mana asal tak lagi melihatnya yang sedang membaca buku menu. Lelaki aneh ini ternyata melihat gelagatku tanpa berkontak mata.

"Gnocchi aglio e olio sama spageti carbonara, minumnya air mineral saja." ujarnya pada waiters. Menutup buku menu dan mengembalikannya. Bersedekap lalu menatapku lamat.

"Kenapa?" tanyaku sambil meneliti tubuh sendiri. Tatapan Nail membuatku merasa ada yang salah dengan diri ini.

"Harusnya gue yang tanya kenapa diam-diam lu lihatin gue?"

"Siapa juga yang memperhatikan kamu? Ih!" Aku bergidik jijik. Memutar bola mataku malas.

Dia tersenyum penuh arti. "Suami lu marah ya? Cemburu sama gue?"

Bukan, Nail. Sayangnya bukan seperti itu. Kamu salah.

"Mbak? Hey!"

Lamunanku terpecah oleh tangannya yang bergerak di depan wajahku.

"Bukan. Sudah jangan bahas itu. Itu ranah pribadi yang nggak seharusnya kamu tahu," pintaku serius.

Mendadak kami terdiam. Sampai dia memutuskan bicara lebih dulu

"Kamu akan bicara dengan sendirinya nanti, Mbak. Gue yakin akan ada waktu di mana lu nggak kuat dan menumpahkan polemik batin lu. Tapi ingat, saat itu tiba jangan ceritakan ke siapapun, ke gue aja."

"Nggak mau. Kamu ember," jawabku asal.

"Secara berkala gunung-gunung akan memuntahkan laharnya karena desakan tenaga dari dalam bumi. Lu juga akan begitu nanti."

"Terserah apa katamu." Aku mencukupkan.

"Jadi maafin gue ya, Mbak."

"Ck! Sudah kubilang bukan karenamu." Andai itu karenamu, semua akan lebih mudah bagiku. "Kalau kamu terus begini, lain kali nggak usah maksa aku makan siang lagi."

"Kenapa?"

"Ajakan ini cuma karena kamu merasa bersalah kan? Selalu begitu setiap kali kamu mengajak makan siang, karena merasa bersalah," tudingku menarik kesimpulan.

Dia tersenyum simpul. "Satu, gue makan siang karena gue lapar. Dua, karena gue nggak mau rekan satu tim gue kelaparan."

"Aku bisa makan roti di pantry nya kantor kok. Sudah cukup mengembalikan tenaga."

"Buat gue nggak cukup."

"Kan perut gue, Nail," sahutku kesal.

"Mulai sekarang perut lu urusan gue."

"Kok gitu?" Aku tak terima.

"Dimulai dari urusan perut, gue nggak mau elu sedih lagi. Bahagia biar gue seneng melihatnya."

"Gue bahagia kok."

"Gue belum lihat lu tersenyum hari ini. Bagi senyum buat gue, Mbak. Gue pengen lihat."

Dudukku tak nyaman. Hari ini Nail kerap membuatku salah tingkah. Sebenarnya apa yang terjadi dengan lelaki itu. Aneh. Aku pun melebarkan bibir dengan senyum yang sengaja kubuat-buat.

"Nggak usah salah tingkah, Mbak. Kalau lu kayak gitu gue jadi merasa punya kesempatan."

"Kesempatan? Maksudnya?" Aku mengangkat alis bertanya-tanya. Namun Nail tak segera menjawabnya. Terlebih pesanan kami datang, pertanyaanku jadi menghambur ke udara dan menghilang.

"Enak?"

"Lumayan," jawabnya mengangguk-angguk. "Spagetinya bagaimana?" tanyanya balik.

"Aku nggak terlalu paham rasa spageti yang enak bagaimana. Nggak terlalu suka makanan itali selain pizza."

Dik Duda (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang