"Hah?" Dia bengong. Sukar mengartikan ajakan gue yang ambigu. "Jalan kemana, Nail?"
Gue membuang nafas lelah. Gue rasa ini terlalu cepat. Ditambah lagi nih cewek kadang telat mikir. Mengajaknya jalan bisa menjadi multi tafsir. Nah penafsiran dia itu sebenarnya yang gue tunggu tapi nggak ada tanda-tanda bahwa mengerti maksudku.
"Nggak jadi."
"Kok nggak jadi?" Nah jadi penasaran kan dia.
"Nggak apa-apa. Lupakan."
Kami pun kembali ke kantor dan menyelesaikan sisa pekerjaan. Batin gue tenang melihat dia lebih bersemangat dari sebelumnya. Meskipun semakin menjelang waktu pulang, raut wajahnya kian murung.
"Mbak, lu dijemput?"
"Eh?" Matanya berlarian bingung mencari alasan. "I..iya dijemput suamiku."
"Lu yakin bakal dijemput suami lu?"
"Eh?" Dia malah bengong. "Kok tanyanya gitu?"
"Gue cuma tanya lu yakin kalau suami lu bakalan jemput?"
"Yakinlah. Dah ah aku pulang dulu."
Dia keluar ruangan terlebih dahulu. Menghindar. Segera gue membuntuti tanpa dia sadar sama sekali. Sampai akhirnya gue menyelinap ke tangga darurat, berlari ke tempat parkir demi segera menyusul dia ke halte depan.
Wuzz! Gue tancap pedal dan segera sampai di depannya yang menunggu di halte biasa.
"Nail?" sapanya heran karena gue tiba-tiba nongol di dekatnya yang berdiri di ujung halte. Gue nggak peduli berapa banyak pasang mata yang sedang mengawasi tingkah kami sekarang. Terurama mereka yang duduk di bangku halte. "Ngapain di sini, Nail?"
"Nungguin rekan kerja gue sampai suaminya datang. Gue takut rekan satu tim gue diculik orang."
"Hah?" Dia melebarkan bibirnya nggak habis pikir. Lalu segera mendorong tubuh gue hingga ke pinggir, menjauhi kerumunan orang-orang yang menanti kendaraan.
"Apa sih maksudnya kamu kayak gini?"
"Maksud apa? Maksud bagaimana, Mbak? Nggak paham." Gue pura-pura bodoh.
"Aku yang nggak paham sama kamu, Nail."
"Coba kenali gue lebih dekat biar paham sama kepribadin gue," rayu gue yang pasti bikin dia mendesis jijik.
Dia membuang nafas gemas. "Pulang!" usirnya.
"Nggak."
"Pulang, Nail!" Dia mulai membentak. Lantas menoleh ke kanan kiri karena merasa usirannya sedikit berlebihan. Memang beberapa pasang mata mulai menyelidik perdebatan kami. Untungnya nggak ada anggota tim kami di sini.
"Gue maunya di sini. Ini tempat umum. Sebagai warga negara yang taat bayar pajak, gue juga berhak menggunakan fasum di manapun itu."
"Oke, kalau gitu aku yang pergi," ancamnya.
"Pergi kemana?"
"Kemanapun asal nggak ketemu sama kamu." Dia semakin sebal.
"Biar apa? Biar kangen sama gue?"
"Ih jijik!"
Gue tergelak melihat tubuhnya yang bergetar jijik. Dia mulai tampak cemas saat sesekali melihat ponselnya.
"Kenapa kayak cemas gitu?"
"Nggak apa-apa. Hari ini suamiku nggak bisa jemput, aku dijemput taksi online."
Lucu melihatnya berusaha membodohi gue.
"Gue antar pulang aja."
"Nggak usah, makasih," tolaknya ketus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dik Duda (21+)
Romance"Siapa yang lebih merendahkan elu di sini, Mbak? Gue yang berani nyentuh elu tapi sayang sama elu atau suami lu yang berani nikahin tapi cuma nganggurin? Melek Erin! Lu nggak dapat nafkah lahir batin, sementara gue? Gue akan kasih apapun yang lu min...